Catatan Perjalanan Semeru IV (Terakhir), Pulang

Bagian Terakhir, Pulang

"No one realizes how beautiful it is to travel until he comes home,..." (Lin Yutang)

"Dik..dik, bangun dik, mau kemana tujuannya?,..dik,..dik..",
"Eh, anu Pak, saya mau pulang.... ke Salatiga", jawabku tergesa-gesa karena kaget, masih dalam kondisi setengah sadar, mataku masih terasa berat. 

Sesosok pria paruh baya dengan seragam Polisi berdiri tegap di depanku, lalu ia duduk di bangku peron. Aku pun segera duduk, ku lihat jam, oh, sudah jam 04.45, aku belum Subuh. Terakhir ku ingat, aku tersadar pukul 03.45 WIB, setelah sebelumnya juga beberapa kali terbangun oleh suara klakson kereta api, yang diikuti derap langkah-langkah kaki para penumpang yang berhamburan, dan saat ku buka mata, semua mata-mata yang melangkah di sampingku seolah-olah menatapku heran, atau mungkin kasihan.
Semalam, aku tidur di lantai peron stasiun Semarang Poncol, berlindung dari nyamuk dengan bersembunyi di dalam sleeping bag, dan ku letakkan ransel tepat disampingku. Kursi tunggu di peron tak muat untuk tidur, sementara kursi di dalam stasiun terhalang oleh pagar berkunci, permintaan ijinku untuk masuk ditolak, sementara beberapa petugas itu dengan asiknya menonton pertandingan bola di TV, ah sudahlah. Kereta yang ku tumpangi dari Malang sampai di Semarang pukul satu dinihari, jika menginap di rumah kenalan atau saudara akan merepotkan, jika ada bus ke Salatiga dan memaksakan langsung pulang pun berujung merepotkan ayahku yang harus menjemputku dini hari, lebih baik menunggu Subuh baru pulang.
Setelah benar-benar sadar, barulah aku kembali ke Pak Polisi yang membangunkanku, aku menceritakan darimana perjalananku dan hendak pulang kemana. Setelah obrolan singkat kami, ia pun mengajakku untuk barengan di mobilnya, kebetulan beliau juga sudah mau pulang, saatnya pergantian shift jaga. Segera ku kemasi barangku dan mengikuti beliau dari belakang. Sebuah truk Polisi, "kamu mau ke Salatiga kan?, nanti ikut saja sampai Sukun", pesan beliau sambil berjalan dan masuk ke pintu depan, aku pun segera naik ke bak truk, bersama beberapa Polisi muda.
pulang, menumpang truk Polisi
jalur pulang, yang baru
___________________________________________________________________________________
melanjutkan cerita sebelumnya sewaktu di Mahameru

Galau di Puncak Gunung
Aku masih di puncak, antara puas dan bingung menunggu teman-temanku datang. Sementara itu, masing-masing orang tampak asik dengan rombongannya masing-masing, mulai berfoto bersama hingga ospek, mengenakan berbagai macam atribut, mulai dari bendera, spanduk khusus hingga toga (baju wisuda). Di sisi lain, kawah Jonggring Saloka masih secara periodik meletupkan gas ke atas diikuti bunyi menggelegar, yang meski ketebalan asapnya tak sefenomenal yang pernah terdokumentasi sebelumnya. 

push up di puncak Semeru, satu kelompok Mapala
Eko pun menyusul, meluapkan suka citanya begitu sampai di puncak, dan akhirnya ia pun nimbrung dengan catatan kecilnya, tampak serius menuliskan sesuatu. Setidaknya aku bisa melirik ada nama seorang wanita yang ...
ia sebut dalam tulisannya, bersama satu wanita lagi, ibunya, "semoga dimudahkan". Selesai ia merampungkan puisinya, kami pun berfoto bersama, dan akhirnya menunggu lagi, masih ada tiga teman kami yang masih berusaha.

Pukul 08.15 WIB, kami sudah sejam lebih di atas, ternyata belum ada tanda-tanda teman kami menyusul. Setelah diskusi yang cukup mempengaruhi "kontroversi hati" kami, kami pun memutuskan untuk turun kembali. Perjalanan menuruni puncak Semeru ini jauh berbeda dari saat naiknya, bisa setengah berlari, karena kelabilan pijakan justru mempercepat langkah kita untuk turun. Yang perlu diperhatikan adalah kesiapan pijakan kaki agar tidak terpelanting, kaki yang terlindung dengan sepatu dan geiter agar tidak kemasukan pasir, serta berhati-hati terhadap batu agar tidak membahayakan pendaki lain.

Puncak, antara Prestasi, Kesetiakawanan atau Keselamatan
Sekitar 15 menit turun, kami berdua bertemu dengan Tri, yang tengah berhenti karena kelelahan dan kehausan kehabisan air minum. Syukurlah persediaan air kami berdua masih bersisa, ia pun membawa air dan melanjutkan perjalanan ke atas, sementara aku dan Eko melanjutkan untuk turun. 15-20 menitan kemudian kami bertemu Vigor dan Anif, mereka tampak masih bersemangat, tapi memang terlihat kelelahan. Langit di atas kami mendadak cukup gelap, hawa dingin dari kabut mendekap kami, pagi yang cerah menjadi ajang kegalauan kami, antara menyemangati Anif yang tampak kelelahan untuk melanjutkan perjalanan ke puncak atau bersabar untuk menundanya lain waktu. Eko dengan tegas memilih sikap merekomendasikan untuk turun, sementara Vigor masih berusaha menyemangatinya, aku sendiri saat itu lebih condong pada pendapat Eko, begitu juga mas-mas yang mengantar pacarnya yang saat itu di dekat kami, ia pun langsung mengajak sang pacar turun, sudah terlalu siang, "masih ada waktu lain, ke puncak bukanlah tujuan utama, jangan dipaksa kalu tidak kuat...", ungkapnya sambil mengajak si pacar turun.

Kami masih berdiam di tempat yang sama, cukup lama, hingga Anif mengatakan untuk tidak lanjut, kami tau itu bukan keputusannya, tapi hanya ketidak-tegaannya. Sebenarnya jarak ke puncak tidak lah terlalu jauh, sayangnya, lagi-lagi karena telat mencari informasi, hingga waktu itu aku tidak memutuskan untuk kembali menemani mereka berdua ke atas. Yang membuatku ragu saat itu adalah gas beracun dari semburan kawah, yang bisa berbahaya jika sudah agak siang, karena kemungkinan terbawa angin ke arah puncak mahameru. Melihat ketebalan rata-rata hari itu, seharusnya mungkin masih cukup aman, sehingga kami bisa berusaha naik meski sudah pukul sembilan pagi, setidaknya bisa sampai di puncak meski cuma semenit. Atau meski gagal pun, setelah benar-benar menyerah.... tapi nasi sudah menjadi bubur. Kami pun berempat masih diam, dingin makin mendekap kami saat kami diam, kabut datang dan pergi, lagi dan lagi, hingga akhirnya kami turun bersama-sama setelah Tri menyusul kami (dengan lututnya yang cedera).

gagal berfoto bersama di puncak, Kalimati pun jadi (ki-ka : Tri, 26 my age, Vigor, Anif, Eko)

Kami turun dari Kalimati sekitar pukul empat sore, cuaca cukup cerah saat kami mulai berjalan. Tapi belum juga sampai Jambangan hujan sudah turun cukup deras, kami pun segera berhenti dan memakai jas hujan, lalu melanjutkan perjalanan. Beberapa saat berselang, hujan pun reda kembali, hingga terbentuklah selengkung pelangi menghiasi perjalanan kami.

pelangi yang menemani jalan pulang
Bermalam di Ranu Kumbolo (lagi)
Pukul 18.30 kami sampai kembali di Ranu Kumbolo, cuaca masih sedikit bergerimis. Tenda-tenda sudah begitu ramainya, kami cukup sulit menemukan lokasi untuk mendirikan tenda, alhamdulillah dapat juga. Tidak ada acara masak memasak malam itu, faktor kelelahan dan gerimis yang tak kunjung berhenti membuat kami enggan keluar tenda. Kami hanya makan sisa-sisa roti yang kami bawa, yang penting cukup untuk mengganjal perut agar tak kosong. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk akhirnya tertidur.
Subuh hari di Ranu Kumbolo selalu istimewa ...
kabut tipis di permukaan air
jajaran tenda di Ranu Kumbolo
pagi berkabut
teman-teman :)
Selain keindahan alam, ada hal lain yang menarik dari Ranu Kumbolo ini, entah apa itu, mungkin yang ini, saat sepasang suami istri yang tampaknya cukup berumur tampak mesra di antara tenda-tenda di Ranu Kumbolo, dengan latar Tanjakan Cinta, atau mungkin yang lainnya, tulis saja sendiri cerita kamu ....

mesra; tenda, danau dan tanjakan cinta

Pesona Semeru yang Tersembunyi

Setelah sarapan pagi, pukul delapan pagi kami pun telah siap untuk perjalanan hari terakhir kami, pulang ke Ranu Pani lalu ke Malang, dan pulang. Kami kembali memutuskan untuk melewati jalur ayek-ayek untuk pulang, cukup penasaran pada jalur awal yang kami lalui di malam hari, sekaligus mengobati keinginan Vigor yang memang belum pernah melewatinya.

mengintip jalur ke bukit Ayek-Ayek, Pangonan Cilik

keramaian di Ranu Kumbolo
Pagi itu cuaca mendung, kami berjalan santai sambil menikmati waktu untuk berfoto-foto. Dari Ranu Kumbolo, untuk melewati jalur Ayek Ayek kita mengikuti jalur di savana yang mengarah ke arah kiri, sementara itu jalur Watu Rejeng adalah jalur naik yang mengarah ke kanan. Trek awal berupa savana yang disebut dengan Pangonan Cilik, luasnya cukup lebar, tak sekecil seperti sebutannya.

bukit-bukit savana Pangonan Cilik

dihiasi kabut

meski lelah, tetap melompat lebih tinggi
Setelah melewati savana Pangonan Cilik yang datar, sekitar 30 menit berjalan, berikutnya trek menanjak memasuki bukit Ayek-Ayek. Trek ini tidak terlalu ramai, yang kami temui di sepanjang perjalanan kebanyakan adalah para porter yang membawakan bawaan pendaki, yang berlarian menyongsong rejeki bersama dengan anjing-anjingnya, dan dua hingga tiga kelompok pendaki ada juga yang melewati trek ini.
lepas dari savana, bersiap menanjak Bukit
Trek berikutnya adalah menaiki bukit hingga sampai di puncaknya, kemudian menyusuri punggung bukit, lalu turun ke Ranu Pani. Karena tidak terlalu diburu-buru waktu, perjalanan kami tak terasa berat. Vegetasi bukit di tumbuhi pohon-pohon pinus yang tak terlalu lebat, dengan trek yang sempit dan banyak berbatasana dengan lereng ditepiannya.
Hanya saja sejak turun dari puncak, Tri teman kami mengalami cedera lutut, berat buatnya pasti, kami pun harus pelan-pelan berjalan. Sementara itu, sejak sebelum sampai di puncak bukit, kali ini Anif dan Vigor sudah menghilang, mereka turun lebih dulu. Kami bertiga pun tetap berjalan pelan, sambil bersabar mendengar teriakan-teriakan Tri yang kesakitan saat lutunya digerakkan, atau entah diluruskan. 
menyusuri punggungan bukit Ayek-Ayek
bunga-bunga penghias jalur
Syukurlah porter kami, Pak Tuki mengatakan kalau setelah di puncak bukit, sebentar berjalan lagi akan bisa dilalui motor, ia bisa meminta tolong saudaranya menjemput. Harapan besar bagi teman kami yang sedang kesakitan dengan lututnya. Alhamdulillah dan benar saja, akhirnya Tri dijemput dengan motor, dengan medan yang cukup ekstrim, cukup dengan motor honda supra standar, luar biasa.....
Begitu Tri dan penjemputnya berangkat, tiba-tiba dibelakang kami ada pendaki yang berlarian sambil berteriak-teriak memanggil, rupanya ia memerlukan ojek juga, temannya ada yang sakit karena magh-nya kambuh. Kami pun menyarankannya mengejar si tukang ojek, ia pun segera berlari kembali, luar biasa kebaikannya untuk temannya.... Hingga ahirnya kami kembali bertemu dengannya di bawah, "gimana mas, bisa kekejar?" tanyaku, "bisa mas, nanti dijemput ke atas katanya",... "alhamdulillah"...
Rupanya ia dan temannya merupakan rombongan mahasiswa UIN Jogja, yah penyakit mahasiswa dimana-mana emang sama sepertinya, magh, tipus dan kawan-kawannya, hanya saja jika kambuhnya di gunung akan lebih berat memang....

Saatnya Pulang,.... 
Kopi panas telah menunggu kami di rumah pak Turi, belum habis segelas, gelas lainnya sudah beliau siapkan, jamuan tuan rumah yang luar biasa mengesankan

berpamitan dengan Pak Turi dan anaknya

rangkuman denah perjalanan
Mengherankan jika para penggiat kegiatan alam selalu sibuk mencerca bagaimana ramainya semeru saat ini, tanpa peduli bagaimana penduduk setempat begitu menyambutnya, sebagai ladang rejeki mereka. Yang salah bukanlah ramainya pengunjung, tapi belum cukupnya edukasi terhadap para pendaki maupun penduduk lokal sendiri, hingga mereka masih belum mengerti tentang pentingnya kelestarian alam. Serta belum cukupnya kesiapan pengelola (TNBTS) untuk mengatasi persoalan sampah dan dampak rusaknya alam oleh ramainya pengunjung, untuk hal ini, patut dicontoh pengelolaan dari Gunung Gede Pangrango, dengan pembatasan jumlah pendaki melalui sistem booking online dan penutupan di saat-saat tertentu untuk tujuan konservasi, juga penerapan sanksi bagi pelanggar aturan.

bocah lokal, Ranu Pani

-mohon maaf apabila sebagian bahasa postingan ini rada terkontaminasi sama bahasa Vickinisasi, cukup sulit untuk menghalaunya-

Cerita lengkap pendakian Semeru :

Comments

  1. kayaknya yg pake toga di puncak iku koncoku deh Nji..

    Ya ampun, sampek dipungut mobil polisi ik loh, ck ck ck.. koyok keno obrakan :))

    hoiya, bunga kuning itu katanya namany adasan, rasa mint, bisa dimakan

    ReplyDelete
  2. ah, ababil tenan.... ga ada korelasi toga sama puncak....

    ooo, suwun ilmu perbungaannya mbak, aku ngertine cuma bunga 2% per bulan, bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan, #eh

    ReplyDelete
  3. Sebuah cerita perjalanan yang indah...
    Seperti membaca sebuah cerpen perjalanan....
    Kamis ini aku juga akan berpetualang ke Semeru...pertama kali ke sana...dan catatan ini cukup memberi bayangan bagaimana indahnya semeru...jadi semakin membuat nggak sabar untuk ke sana...
    Nice Story ^__^ thanks

    ReplyDelete

Post a Comment