Catatan Perjalanan Semeru III (Tentang Rindu, Puncak Mahameru)

Tentang Rindu, Puncak Mahameru

Sambungan dari Catatan II

“Ada dua jenis kerinduan,” katamu suatu hari, “Kerinduan pertama tersebab kita pernah merasakan sesuatu dan kita menginginkannya kembali. Kerinduan kedua tersebab kita tak pernah mengalaminya dan benar-benar ingin merasakannya, setia menunggu dalam penantian yang lugu.” 
(Kau yang Mengutuhkan Aku - Revolvere Project)

berdiri di tanah para dewa
Potongan syair di atas sejatinya bertutur soal cinta dan pernikahan, sebuah pesan yang disajikan dengan menarik oleh 3 orang pemuda yang luar biasa, bagi yang penasaran, silakan dicari ya...
Kembali ke pendakian, bahwa benar kerinduan lah yang membawaku sampai di titik perjalanan ini, untuk kali ini, tepatnya kerinduan yang kedua, belum pernah merasakannya dan benar-benar ingin merasakannya (mencapai puncak Mahameru). Rasanya sudah begitu senang bisa menatap langsung megahnya Mahameru dari Kalimati, tapi mencermati betapa panjang dan tinggi jalur pasir yang harus kami lalui, hmmm... "pasti bisa!!!" bisikku sambil menepuk-nepuk kakiku yang berbalut knee support.




Penantian Berujung Bahagia
"Gor gor... di sini gor",...
 "Koo... Ekoo",....
sayup-sayup suara itu makin jelas terdengar, bukan mimpi, aku pun tersadar dari lelap tidurku. Segera aku duduk, masih di dalam sleeping bag, ku usap-usap mataku, pukul 21.20 WIB. Tak beberapa lama, akhirnya sosok Vigor yang sudah kami tunggu-tunggu akhirnya muncul, dengan rambut acak-acakan yang khas, dan muka yang menyembunyikan kelelahan dibalik senyumannya. Seorang pria tak akan mengingkari janjinya, benar-benar teman yang gila, kami pun tertawa bersama. Anif dan Tri pun buru-buru bangun juga. Anif segera menyiapkan asupan untuk Vigor yang sudah tampak kelelahan, sebungkus ransum dan nasi yang memang kami sisihkan untuknya, sayangnya sudah tak ada lagi ransum kalengan yang sebenarnya sangat ia inginkan. Aku masih ingat saat ia bercerita tempo hari sebelum pendakian, bagaimana dia ingin mencoba ransum TNI yang dibawakan temannya (yg ternyata Anif), entah karena faktor TNI atau Anifnya, hehe... 

Sambil menikmati makan malamnya, Vigor pun bercerita soal perjalanannya mengejar kami, naik ojek dari bandara sampai Ranu Pane, ngebut trekking dari Ranu Pane sampai Ranu Kumbolo via Watu Rejeng yang padat dan tentunya licin (karena ia belum tau jalur Ayek Ayek), tanpa bekal makanan sedikit pun, hanya sebotol air, hingga akhirnya menembus gelap jalur Ranu Kumbolo hingga Kalimati, tanpa lampu, karena headlamp-nya ada di carrier yang kami bawa. Kisah yang bukan lagi menarik, tapi luar biasa, jika ia mau bercerita...

Usai dia makan yang akhirnya tetep ga bisa menghabiskan semuanya, kami pun bergegas istirahat setelah sholat, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam lebih, rasanya tak mungkin untuk memulai summit attack sebelum tengah malam, Vigor butuh istirahat yang cukup, kami berempat juga masih malas beradu dengan dingin.

Melewati Batas, Menapaki Puncak
Di samping tanda batas pendakian di Kalimati, pukul 1 dini hari, kami berempat berkumpul, "Teman-teman mulai dari sini,....
jalurnya akan terjal dan sempit, hanya cukup untuk seorang, sulit untuk mendahului, kita atur jalan kita pelan-pelan saja, sesuaikan langkah dan jaga jarak jangan sampai terlalu jauh, tetap bersama-sama,nanti kalau sudah sampai di batas vegetasi jika ada yang ingin muncak duluan silakan, tapi saat turun lagi kita harus bersama-sama, banyak yang tersesat di gunung ini adalah saat turun dari puncak", begitu yang Vigor pesankan kepada kami sebelum berdoa, mulai di batas ini ia yang memimpin, sebagai satu-satunya dari kami yang sudah pernah ke Mahameru.

Kami mulai berjalan beriringan, melewati padang savana Kalimati, beberapa ratus meter dari tenda ada trek menurun seperti celah, inilah yang disebut Kalimati (sungai yang mati), jalur celah sungai yang tidak dialiri air, mungkin inilah jalur aliran lava letusan Semeru dulu, dan mungkin suatu saat nanti. Sementara di lereng menuju puncak, sorot-sorot lampu pendaki yang lebih dulu berangkat telah tampak membentuk jalur panjang berkelok ke atas, menuju puncak.

jalur cahaya lampu para pendaki menuju puncak Semeru
Setelah melewati celah sungai, berikutnya trek memasuki hutan cemara, awalnya cukup mendatar, kemudian tentu saja semakin menanjak, bisa dibayangkan karena kami start dari titik 2.700mdpl di Kalimati, dan garis finishnya nanti, Mahameru berada di 3.676mdpl, artinya kami harus naik setinggi hampir 1 km jika ditarik garis vertikal ke atas. Mempertimbangkan hal itu, kami pun tidak mau gegabah dengan terburu-buru, untuk lalu dengan konyolnya terlanjur kelelahan sebelum sampai di puncak, kami berjalan kecepatan rendah, dan rutin break sebentar setiap 10-15 menit berjalan, atau kapan pun kami merasa berat. Dengan jalur yang sempit itu, saling mendahului hanya dilakukan saat tim lain beristirahat di pinggir jalur.

Arcopodo, antara Mitos dan Pengetahuan
Arcopodo merupakan bahasa Jawa, jika diartikan berarti Arca/Patung Kembar, bahwa di sini terdapat 2 buah arca yang menurut informasi merupakan peninggalan jaman Majapahit, sayangnya sebuah arca sudah tidak lagi utuh. Kami tidak melihat keberadaan arca-arca tersebut, karena memang jalur pendakian yang ada saat ini tidak melewati lokasi dimana arca tersebut berada, jika jalur sebelum tahun 1980 sebenarnya melewati. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk tujuan pelestarian peninggalan budaya, karena ulah iseng manusia yang suka merusak itu masih saja ada. Sementara itu, banyak cerita-cerita yang beredar bahwa arca-arca tersebut hanya bisa di lihat oleh orang-orang tertentu yang terpilih (ghaib istilahnya).

Arcopodo merupakan pos terakhir sebelum mencapai puncak Mahameru, berada di ketinggian hampir 3.000mdpl, merupakan daerah dengan hutan lebat dengan sedikit tanah datar yang cukup untuk mendirikan sekitar 6 tenda. Kami sampai di pos jalur Arcopodo pukul 02.15 WIB, di tempat tersebut ada sekitar 4 tenda yang berdiri. Kami beristirahat sejenak bersama para pendaki lain, menyantap roti dan coklat yang kami bawa sebagai energy booster.

Setelah detak jantung normal, nafas mulai terkendali, semangat kembali menyala, kami pun melanjutkan perjalanan, jalur makin terjal, mendekati curam. Seperti sebelumnya, setelah mulai berjalan, aku, Eko dan Tri beriringan di depan, sementara Anif yang ditemani Vigor berada di belakang. Saat jarak di rasa cukup jauh, kami menunggu hingga mereka berdua menyusul sambil beristirahat. Akhirnya kami pun tiba di batas vegetasi, dimana tetumbuhan mulai tak ada, karena tak sanggup untuk tumbuh, berganti dengan trek pasir yang berasal dari sisa letusan Semeru.

Trek Puncak, yang Cantik itu : Sulit dan Harus Antri
Menjelang pukul 3 dini hari kami sampai di batas vegetasi, dari sini dengan terpaksa kami berlima berpisah. Aku bersama Eko dan Tri berangkat terlebih dahulu, sementara Anif ditemani Vigor di belakang. Meski kami bertiga belum ada yang pernah ke puncak, tapi di jalur trek pasir cukup jelas, sehingga tidak perlu khawatir tersesat, apalagi dengan ramainya pengunjung yang ada, kesulitan justru terjadi karena harus mengantri dan makin besarnya resiko batu yang longsor. Bekal kami bagi menjadi dua, sebagian ke tas yang dibawa Eko, dan sebagian ke tas Vigor, sesuai perhitungan kami saat di Kalimati, masing-masing orang minimal harus membawa 1,5liter air, ini kebutuhan yang paling pokok.

Bismillah, kami memulai langkah demi langkah di trek berpasir, ternyata pijakan sangat labil, jauh berbeda dari trek tanah. Antrian manusia di depan kami sudah mengular panjang, aku pun menghela nafas, berusaha memandang ke puncak, ah, masih begitu jauh untuk sekedar di liat. Selain pijakan yang labil, trek ke puncak juga begitu curam, sampai tak jarang aku terpaksa merangkak, karena tidak membawa tracking pole (tongkat). Meski beberapa kali naik gunung, jujur baru pertama kalinya ini aku benar-benar merasakan keharusan memakai sepatu dan kaos tangan, bisa habis tergores kaki dan tangan tanpa benda-benda itu. 

Detak jantungku mulai meningkat drastis, kekuatan langkah kaki semakin lemah, pijakan makin labil dan seringkali kami harus kembali ke bawah ketika pasir pijakan kami longsor. Panjangnya nafas kami pun berkurang, hingga hanya beberapa langkah saja sudah begitu terasa lelahnya, tenggorokan kembali terasa kering. Jika sudah begitu, break, membalikkan badan, ambil nafas dan minum air. Ketika kami memandang ke atas, lelah rasanya melihat jalan yang masih teramat panjang, dan begitu banyaknya orang-orang yang sudah di depan kita. Maka membalikkan posisi badan ketika istirahat adalah pilihan bagiku, dengan memandang ke bawah, cukup jauh juga kami melangkah, dan masih banyak orang yang harus berjuang untuk sampai di posisi kami, membawa kesyukuran, alhamdulillah.. (catatan : kita tetap harus waspada jika sewaktu-waktu ada peringatan ada batu yang longsor, segera lihat ke belakang dan menghindar jika ada peringatan)

para pendaki puncak Mahameru
Sekitar pukul 4, hanya tinggal Eko yang masih bersamaku, Tri sudah tak terlihat lagi. Kami beristirahat 30 detik setiap berjalan 10 menit, dan berisitirahat untuk minum setiap 30 menit, atau jika memang ada yang sudah benar-benar tidak kuat. Rasanya puncak masih jauh di angan-angan, sampai menjelang Subuh masih saja belum ada tanda-tanda. Untuk menjaga keyakinan dan harapan, aku pun memutuskan untuk berdzikir sambil terus melangkah, sebutan apapun yang Ia miliki ku panggil di hati dalam setiap langkah kakiku, "Ya Allah", "Ya Rahman", "Ya Rahim", "Astaghfirullah", dan segala yang ku tau dan ku yakini, bumi yang kali ini ku pijak pun sedang berdzikir, kenapa aku tidak,... Terus-terus saja aku ulangi, karena takut muncul kata-kata yang buruk ataupun keluhan.
Kali ini, dengan rasa lelah yang telah sangat, detak jantung yang begitu berat, aku berbisik dalam hati, "jika nanti aku menikah, aku tak akan mengajak istriku ke sini, meski ia mau" (baca : trek ke Puncak Mahameru, yang kedua setelah Argopuro).

Jam menunjukkan hampir jam 5 pagi, sementara puncak masih saja belum terlihat. Tak mungkin lagi untuk bercita-cita melihat sunrise di puncak, sudahlah, tak apa-apa, toh itu bukan tujuan utamaku. Kami berdua pun segera mencari tempat yang cukup aman untuk shalat Subuh, tak mungkin bisa shalat sambil berdiri, bahkan untuk duduk pun tak bisa. Kami berdua pun shalat di atas batu di luar trek, dengan duduk tapi kaki selonjoran ke depan, karena posisi yang miring, Allahu Akbar, sesungguhnya Ia Maha Mengetahui.

Setelah shalat, minum dan makan sisa roti yang masih ada, kami melanjutkan lagi perjalanan. Di sebelah timur kami sudah nampak semburat merah matahari yang hendak terbit, indah, meski kami masih jauh dari puncak. Bagaimana pun, tak ada alasan untuk tak bersyukur. 

matahari hampir terbit, ketika kami masih di lereng
Matahari pun telah sempurna menunjukkan keberadaannya, posisi kami masih di lereng pasir yang labil. Kaki sudah semakin berat untuk diangkat, tangan pun dengan sigap membantu, merangkak sedikit demi sedikit. Meski udara dingin, aku tetap selalu minum dengan rakusnya, agar tenggorokanku tak kekeringan, dan dehidrasi tanpa ku sadari.

Tapi sungguh apes, di saat puncak masih juga belum terlihat, di tengah-tengah jalur pasir curam yang labil, aku kebelet pipis, astaghfirullah. Hal sepele yang tak bisa diremehkan, di antara ratusan orang ini, apa aku satu-satunya yang harus menanggung derita menahan kencing ini, pikirku. Mencoba bertahan, aku masih seolah tak peduli dan terus berjalan, tapi makin lama rasanya linu juga terus menahan. Sambil berjalan, ku amati dimana ada tempat di luar jalur yang tersembunyi, tapi cukup aman untuk mencapainya. Sampai akhirnya di sebelah kiri jalur ku lihat ada celah dibalik jalur pasir yang agak tinggi, jaraknya mungkin sekitar 30 meter dari jalur, dengan perlahan aku pun memisahkan diri dari jalur pendakian. Merangkak sedikit demi sedikit, jantungku berdetak tidak karuan, mataku melekat kuat ke atas berjaga-jaga jika ada batu meluncur, tanganku ku cengkeramkan sekuat mungkin ke pasir, kaki sangat berhati-hati dalam berpijak, hingga akhirnya bisa mencapai posisi tersebut, syukurlah...

Ternyata rasa lega yang sesungguhnya tak bisa ku rasakan begitu saja, karena bagaimana pun, aku harus kembali ke jalur. Jalan untuk kembali ke jalur ternyata jauh lebih sulit, karena setelah bisa melewati pasir-pasir labil itu, masih ada pembatas yang cukup tinggi untuk masuk ke jalur. Aku meminta tolong pada siapa saja untuk membantu menarikku, gagal, tak ada tangan yang bisa menjangkau jarak di antara kami, Ya Allah, andai aku wanita, aku mau menangis saja,...

Jujur saja, meski matahari telah terang benderang, orang begitu ramainya, aku benar-benar merasa takut jika tak kuat terus menahan pijakan dan akhirnya membiarkan tubuhku melorot bersama pasir yang longsor. Sambil terus berdoa dan memastikan tak ada air mata yang keluar, aku amati segala arah yang memungkinkan untuk kembali masuk ke jalur, dengan pembatas yang tak terlalu tinggi (pembatas : permukaan yang terlihat menonjol sat terlihat dari kejauhan). Alhamdulillah, sepertinya ada jalan, tapi aku harus turun kembali, aku pun turun perlahan-lahan, dan segala puji bagi-Nya, masih ada kesempatan untukku. Setelah kembali di jalur, aku berhenti sejenak, menenangkan diri, dan mengatur nafas... Ternyata pemandangan di balik kami begitu indah, bukit-bukit berjajar, savana Kalimati di bawah kami, langit biru yang cerah dihiasi awan, Subhanallah, Maha Suci Tuhan Yang Menciptakan segalanya.


pemandangan dari lereng Mahameru
para pendaki yang berjuang menaiki puncak, Kalimati terlihat di bawah (savana dibawah bukit, yang tak ada pepohonan)
Mahameru, 3.676mdpl
Sabtu, 8 Juni 2013, Pukul 07.00 WIB, akhirnya, aku bisa mencapai titik 3.676 mdpl, Alhamdulillah, sekali lagi syukur tiada akhir untuk-Nya. Meski awalnya sempat bingung, karena begitu luasnya area di puncak tersebut, hingga aku hanya berjalan ke sana kemari untuk mencari-cari titik teratas, karena Eko masih tertinggal di belakang. Setelah menghampiri seorang pendaki lain dan menanyakan letak puncak, barulah aku sadar, aku telah berada di tanah yang disebut tanahnya para dewa, ya di tanah tempat aku berdiri sekarang inilah puncaknya, Alhamdulillah, bisikku dalam hati lagi.

Pemandangan yang luar biasa, di semua sisinya tersaji pemandangan menakjubkan, bukit-bukit yang kami lalui sepanjang jalan, Bromo, dan gunung-gunung lain di Jawa Timur tampak semua. Subhanallah, luar biasa. Segera ku keluarkan kamera dari tas, masih terbungkus kaosku yang ternyata sudah begitu lembap karena dinginnya udara. klik, On, alhamdulillah menyala sempurna.

Sambil jeprat-jepret dan berjalan-jalan mengitari area puncak, tak henti-hentinya ku ucapkan syukur pada Tuhan yang akhirnya telah memberikanku kesempatan. Di saat November tahun lalu hanya bisa mendengar cerita dan melihat foto dari teman-teman. Tanpa ragu, segera ku lepas jaketku, sengaja ku pakai kaos hijau yang telah dibuat tahun lalu, demi membayar kegagalan masa lalu.

kegagalan hanyalah jalan menuju kesuksesan, kaos yang sudah selayaknya dipakai di titik 3.676mdpl
Saat masih asik menikmati pemandangan dan berfoto-foto, tiba-tiba saja, *BLAARRR*...terdengar bunyi seperti ledakan yang cukup keras, jantungku serasa tak karuan, kakiku sudah mengambil ancang-ancang segera berlari, meski tak berguna juga jika benar terjadi apa yang ku bayangkan. Ternyata malah puluhan orang di sekitarku bersorak setelah letusan itu, mereka tampak berlarian mendekat tepian yang dekat dengan kawah, ternyata kawah Jonggring Saloka tadi tengah terbatuk. Setelah kejadian tadi aku pun baru sadar, tenryata kawah Semeru memang secara aktif terbatuk dan mengepulkan awan membumbung ke angkasa, setiap 10-15 menit sekali, yang sebenarnya merupakan gas beracun, oleh karenanya dilarang untuk mendaki puncak kawah Jonggring Saloka tersebut.

Kawah Jonggring Saloka
kepulan wedhus gembel setelah letupan keras
Sebagai info tambahan, berikut gambaran kondisi puncak Semeru dari atas, berdasar citra dari Google Earth, Puncak Mahameru berada di tempat yang bertanda bendera biru, sementara itu kawah Jonggring Saloka merupakan lobang/cekungan yang terlihat di sisi tenggara. Jalur pendakian yang diijinkan adalah dari sebelah utara, yang terlihat garis dari Kalimati, dilarang mendaki Puncak Semeru dari lereng sebelah Selatan, karena bahaya gas beracun dan aliran lahar tentunya. Saat hari menjelang siang pun, ada kemungkinan gas beracun akan tertiap ke arah utara, oleh karena pendaki harus selalu waspada, dan lebih baik lagi apabila mempersiapkan diri dengan membawa oksigen kemasan untuk berjaga-jaga.
  
gambaran puncak Semeru dari atas (Google Earth)
Tak ada Ballon D'Or bagi Messi tanpa adanya Barcelona, tak ada Rossi yang berkali-kali juara dunia tanpa sokongan tim mekanik dan sponsornya, sial, hampir saja aku melupakan teman-temanku. Benar akhirnya aku bisa mewujudkan keinginanku, membayar kegagalanku 6 bulan lalu, tapi bagaimana dengan mereka? Eko yang sudah menyiapkan pena dan kertasnya untuk menulis puisi bagi orang yang ia cinta, Vigor yang sudah bersusah payah merencanakan perjalanan ini dan demikian gilanya bolak-balik Malang - Jakarta, tanpa mempedulikan besarnya biaya dan tenaga, Anif yang masih terus berjuang sekuat tenaga meski sudah hampir menyerah sejak hari pertama, dan Tri yang, entahlah, mungkin setidaknya ingin lari dari kegagalan cintanya....
Sampai kapan aku harus menunggu? Lancarkah perjalanan mereka? 

bersambung : Part IV, Pulang, Kembali pada Kebersamaan (segera)

___________________________________________________________________________________

foto-foto wedhus gembel di saat-saat fenomenal dari kawah Semeru :

semburan wedhus gembel puncak semeru
momen dahsyat
*foto diambil dari forum kaskus OANC, id kaskus : @patria4adv
link : kaskus

Comments

  1. akhirnya...... kaos ijonya bisa dipake... wkwkwkwk..

    ReplyDelete
  2. dipake ditempat yang selayaknya, wkwkwk

    ReplyDelete
  3. sekali lagi menatap iri sama yg sudah menapaki mahameyu..

    ReplyDelete
  4. walah, suhunya gunung merendah :)

    ReplyDelete
  5. yang ini bikin ngakak..
    "jika nanti aku menikah, aku tak akan mengajak istriku ke sini, meski ia mau" beda banget sama si ijef, dy sampek ndlosor ngajak istrinya nek gunung, tetep nggak mau, pdhl wes dibelain dy siap morterin semuanya :))

    ReplyDelete
  6. aq kan orangnya penyayang mbak :D

    ReplyDelete

Post a Comment