Catatan Perjalanan Semeru I (Mengenang Sebuah Kenangan)

Mengenang Sebuah Kenangan


Udara dingin terasa menusuk kulit hingga menembus tulang, masuk dengan mudah melewati tipisnya daging dibawah kulitku, aku bergegas memasukkan kaki yang sudah berbalut kaus kaki ke dalam sleeping bag. Sambil mengenakan kaos tangan kulirik jam tangan, sudah hampir pukul 11 malam, suhu yang terbaca di termometer masih di atas 20 derajat, mungkin karena dari tadi jam tanganku tertutup jaket. Dengan malas, ku keluarkan kepalaku dari sela-sela pintu tenda, dua orang pria berbadan besar sedang asik menghisap rokoknya masing-masing sambil memainkan api dari trangia, aku pun ikut mengepulkan asap uap air akibat dingin, meniru gaya mereka. Sementara itu, di tenda kecil disamping tendaku tampaknya sudah tak ada tanda-tanda kehidupan, pasti orang yang di dalam sudah tertidur pulas, pikirku.
_________________________________________________________________________________

Pagi tadi,...
Aku baru hendak menyantap nasi goreng yang ku pesan, ketika ada pesan dari Vigor, "Wan, kami sudah di bandara". Tak lama berselang, keluarlah temanku itu dari dalam mobil menghampiriku, segera ku habiskan teh manis yang sudah tersaji dan minta tolong pelayan untuk membungkus nasi goreng yang baru terhidang, kami tak ingin membuang waktu. "Wan, ada sedikit kabar buruk, aku harus balik ke Jakarta hari ini, ada keperluan",..., aku diam, "tapi besok aku akan balik lagi, nyusul kalian, sori ya...", aku masih diam, tak berminat menanyakan apa keperluannya apalagi berniat membujuknya, "kenapa harus balik sekarang?", atau "ga bisakah kepulanganmu ditunda lusa setelah kita turun?", tetap ku ikuti dia ke dalam mobil. Di dalam mobil itu, ia mengenalkan teman-temannya, seorang wanita berjilbab bernama Anif (buatku terdengar seperti "Hanif"), yang ia kenal saat ngetrip bareng ke Bromo, cukup spesial tampaknya. Sementara di bangku belakang, ada dua pria besar, masing-masing Eko dan Tri, Eko adalah teman sekantor Vigor, sedangkan Tri adalah teman sekantor Anif. Ketiga orang inilah yang bersamaku melakukan pendakian kedua gunung Semeru dan melewati malam di Ranu Kumbolo. Kami pun berpisah dengan Vigor di pasar Tumpang, Vigor langsung kembali ke Malang dengan ojek, sementara kami berempat berangkat ke Ranu Pani, menyewa jip yang alhamdulillah cukup murah, meski kami hanya berempat.
_________________________________________________________________________________

Ku lepas pandangan dari dua pria besar itu, di depan kami pada jarak yang cukup jauh, lebih dekat ke tepian Danau Ranu Kumbolo, tenda-tenda sudah berjejalan. Kami memang sengaja menepi, mencari tempat yang cukup sunyi untuk bermalam. Malam makin larut, sayup-sayup suara keramaian masih terdengar, hiruk pikuk aktivitas orang-orang mempersiapkan tenda juga masih terlihat, sementara di jalur pendakian, sorot-sorot lampu senter dan headlamp masih berbaris-baris memecah gelap malam. "Kasian sekali mereka jam segini baru sampai di sini", ucapku pada teman-temanku yang masih saja asik menghisap rokoknya, seakan lupa kalo nafas mereka hampir selalu habis ketika berjalan tadi, terenggut oleh tembakau yang dinikmatinya.



Sambutan Hujan di Rani Pani

Pukul setengah 3 sore hujan dengan intensitas sedang mengguyur kawasan Ranu Pani, desa terakhir yang berbatasan dengan Jalur Pendakian Semeru, kami baru saja sampai. Begitu tiba, kami meminta bantuan sopir jip dan temannya (sebut saja Madox dan Sheriff Woody), untuk mencarikan seorang porter, untuk membawakan tas Vigor. Setelah dapat, kami langsung menuju pos dengan berhujan-hujanan. Langkah awal yang cukup berat untuk targetku mancapai puncak Mahameru.

Ranu Pani, desa terakhir sebelum Semeru.

Eko dan Tri baru saja selesai mengurus perijinan pendakian kami, dan Pak Turi, porter kami juga sudah siap menanti. Jam menunjukkan pukul 4 sore, kami pun bersiap memulai perjalanan, jas hujan telah disiapkan, doa pun terpanjat pada Yang Di Atas, Yang Menguasai bumi, alam dan cuaca.

Sebelum berangkat, Pak Turi mengajak kami berempat mampir ke rumahnya, beliau hendak menyiapkan bekal. Di dalam rumah yang sederhana itu, dengan tungku kayu yang mengepulkan asapnya yang khas, tampak istrinya menghisap rokok sambil berbincang dengan ibu-ibu yang rupanya penjaja gorengan. Entah apa yang sedang beliau masak, karena ternyata gorengan yang dijajakan oleh temannya tersebut nyaris beku, dingin, dan keras, tapi cukup untuk mengganjal perut, meski tak cukup menghangatkan di tengah rintik hujan yang sukses menambah dingin udara sore itu.

Pak Turi mengajak anaknya yang terkecil untuk ikut. Ia masih duduk di kelas 6 SD, hampir masuk SMP, jika ia melanjutkan, yang nampaknya cukup ragu ia menjawab waktu ku tanyakan soal sekolahnya itu, Yudi namanya, dengan potongan rambut model gaul dan tindik di telinganya. Ia bercerita bangga ketika aku sempat menanyakan soal syuting film 5cm, karena kebetulan ia dan ayahnya turut serta menjadi porter rombongan pembuatan film tersebut, total 50 porter yang dipakai saat itu, kenang mereka. Setelah perbekalan siap, kami pun berangkat.
Pak Turi dan putra terkecilnya, Yudi, anak ketiga dari 3 bersaudara
Bukit Ayek-Ayek, Lupakan Soal Beratnya Tanjakan Cinta

Jalur pendakian dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo bisa ditempuh dengan dua macam jalur, Watu Rejeng dan Bukit Ayek-Ayek. Jalur Watu Rejeng adalah jalur yang biasa dilalui pendaki pada umumnya, dengan diawali jalur yang sudah dibeton (sampai pos 2), variasi tanjakan yang menyediakan ...
beberapa trek yang cukup landai, dan terdapat beberapa pos yang bisa menjadi ukuran jarak yang telah ditempuh, dan yang masih harus dilalui. Waktu tempuh normal dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo adalah 3-4 jam, tapi saat kondisi hujan dan gelap, dan bagi pendaki pemula, tentu akan lebih lama. Sementara jalur yang satunya, Bukit Ayek Ayek merupakan jalur pintas, yang biasa dipakai oleh para pendaki lokal (sebut saja porter), dengan melewati jalur ini, berdasarkan informasi yang kami terima, waktu tempuh bisa lebih hemat 1-1,5 jam dari jalur Watu Rejeng. Menarik bukan? Meski informasi yang kami tau mengenai jalur ini sangat minim, bahkan nyaris 0, karena hanya dari para porter, yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan manusia-manusia normal perkotaan.

Tertarik pada tantangan baru, aku pun langsung mengiyakan tawaran Pak Turi untuk melewati jalur Ayek-Ayek ini, sementara ketiga temanku, tentu saja setuju, apalagi dengan informasi jika jalur ini memangkas waktu tempuh sekitar 1 jam daripada jalur normal**. (** : untuk skill porter, itu yang kami lupa).

Di awal perjalanan, setelah melewati area kebun penduduk yang ditanami bawang dan kol, jalur langsung menanjak dan konstan, tanpa jalur landai. Tapi menurutku pribadi, meski terus menanjak jalur ini nyaman, karena merupakan akses yang dipakai penduduk desa untuk mencari kayu bakar sehari-hari, bukan jalur pendaki Semeru yang makin hari makin ramai, hingga tidak becek meski dalam kondisi hujan. Kami berjalan dengan kecepatan pelan, karena jalur yang terus menanjak dan semua temanku juga baru pertama kalinya ini naik gunung, ditambah kondisi hujan yang membuat jalur cukup licin. Sekitar pukul 5 sore, setelah istirahat, Pak Turi dan Yudi minta ijin untuk jalan duluan. Mengingat kecepatan kami yang cukup pelan untuk ukuran mereka, kami pun mengiyakan, apalagi mereka bilang jalurnya tinggal lurus saja (tanpa percabangan). Setelah itu, jadilah hanya kami berempat, berjalan dengan menyesuaikan diri dengan tenaga dan pernafasan, tanpa tau kapan akhir dari jalanan menanjak yang kami harus lalui.

Langit semakin gelap, rintik hujan belum sepenuhnya reda, kabut menyelimuti sepanjang jalan. Hingga saat senja menjelang, kami melalui punggungan bukit, jalur pun agak mendatar, sekitar 30 menit. Seharusnya dari jalur tersebut akan nampak cahaya-cahaya desa, yang ku kira adalah Ranu Pane, sayangnya karena kondisi berkabut, pemandangan itu tidak bisa terlihat jelas.

view dari punggung Bukit Ayek Ayek, berkabut
Walau Badai Menghadang,

Matahari telah terbenam, langit berubah menjadi gelap, headlamp siap terpasang di kepala, belum ada tanda-tanda puncak bukit sudah dekat. Kami masih terus berjalan, dengan aku berjalan paling depan, diikuti Eko, lalu Tri yang menjaga Anif di belakang. Hingga sekitar pukul setengah 7 malam, suara gemuruh terdengar makin kencang, hawa dingin rasanya makin menjadi, aku pun dengan ketidak-pedulianku masih berjalan pelan, sesekali menengok ke belakang untuk memastikan mereka masih terlihat. Tapi kali itu, kacamataku terlalu buram, hanya jarak bbrp meter yang bisa terlihat, aku pun duduk dengan niat menunggu mereka dan mengelap kacamata.

Suara gemuruh masih bertahan, membuat jantung berdebar lebih cepat dari biasa, belum lagi kesunyian yang ditambah hawa dingin dan gelap. Rupanya cukup lama aku menunggu, ku rapatkan tanganku, duduk bersandar pada carrier, aku menunggu tanda-tanda keberadaan teman-temanku. Setelah suara gemuruh hilang barulah suara ribut-ribut mereka terdengar, rupanya baru saja ada badai. Dan saat itu, Eko dan Tri berlari ketakutan, meninggalkan Anif yang menangis di belakang, "minta pulang" (tapi yang bersangkutan menolak mengakuinya :p).

Sejak itu, kami pun berjalan dengan jarak lebih rapat. Melihat kondisi teman-teman yang sepertinya sudah kehabisan tenaga, aku pun berencana jika sampai pukul 8 belum ada tanda-tanda Ranu Kumbolo sudah dekat, sebaiknya istirahat dan membuat tenda seadanya. Saat ku sampaikan ke Eko, ia pun mengiyakan, dengan tetap memberikan semangat, terutama pada Anif yang sepertinya sudah hampir menyerah, "minta pulang" itu tadi.

Kesabaran dan semangat pantang menyerah kami berbuah, akhirnya kami sampai di puncak Bukit, meski sudah hampir pukul 7 malam. Ketinggian puncak Ayek Ayek sekitar 2700mdpl, 300 meter lebih tinggi dari Ranu Kumbolo. Kami beristirahat sejenak, melepas penat, makan beberapa stok makanan instan dan akhirnya bisa sedikit tertawa mengenang ketakutan kami sebelumya, meski jalan di depan masih kami belum tau, apalagi malam makin larut. Khusus buatku, jalanan menurun adalah trek yang terberat, karena tumpuan pada lutut jauh lebih berat daripada tanjakan.

Cahaya di Ujung Goa

Lepas dari puncak, tiba-tiba di depan tersaji turunan terjal, apes, pikirku. Mencari-cari jalan alternatif di sekitar, tak ada, sementara kondisi benar-benar gelap, dan sedikit saja meleset, cahaya lampu tak dapat menjangkau ujungnya, jurang nampaknya. Saat itu aku membawa dua tas, carrier di punggung, dan daypack di dada, tak ada masalah hingga sampai puncak, baru akhirnya setelah jalur menurun terasa beratnya. Karena tak punya cara lain, saat turunan terjal dan becek, aku lemparkan dulu daypack-ku perlahan, baru aku turun dengan setengah ngesot atau merangkak.

15 menitan turunan terjal, berikutnya jalur menurun cukup normal, dengan rumput-rumput yang membuat jalanan tidak terlalau becek dan licin. Namun, tampaknya Anif sudah benar-benar tak tertolong lagi, kehabisan tenaga (kepercayaan diri aslinya yang habis). Sementara untuk berhenti dan membuat tenda, tak ada tanah yang cukup lapang di sepanjang jalur.

Setelah terus memaksakan diri terus berjalan, sekitar pukul setengah 8 kami berpapasan dengan tiga pemuda porter yang hendak pulang, alhamdulillah, seperti melihat cahaya di ujung Goa. Tanpa basi-basi, kami langsung meminta bantuan agar seorang dari mereka bersedia membantu kami untuk membawakan tas Anif, dan memandu kami tentunya sampai Ranu Kumbolo. Sayang, negosiasi tak imbang, kami tak punya data dan nilai tawar, benar-benar seperti Jepang yang sudah dihabisi dengan bom atom untuk menyerah tanpa syarat pada Sekutu. Jadilah kami sepakat memakai jasa mereka bertiga, dengan tarif layaknya dari Ranu Pani, masing-masing 200rb, tapi tak apalah, duit bisa dicari lain waktu, sementara keselamatan diri adalah harga mati.

Begitu sudah dapat porter, jadilah tas Anif yang kita bawa bergantian, karena paling ringan. Buat mereka, kami tinggalkan tasku, Tri dan Eko. Kami diminta berjalan duluan, karena mereka bertiga hendak makan dulu, yah wajar lah karena mereka hendak "lembur" malam ini. Kami pun berjalan duluan, dan tak beberapa lama mereka bertiga sudah menyusul. Kami menyusuri sisi kanan Bukit, jalur hanya cukup untuk satu orang dengan rumput yang cukup tebal.

Jalur dari puncak terus menurun, sama sekali tak ada tanjakan. Lewat dari jam 8, kami mendengar suara ramai-ramai di bawah, ku pikir Ranu Kumbolo, ternyata bukan. Rupanya di depan rombongan kami, ada rombongan lain yang lebih dulu berangkat melewati Ayek Ayek, sepertinya rombongan anak-anak SMA. Tak beberapa lama, kami pun melewati mereka yang tengah terengah-engah dan berbaring dipinggiran jalur. Alhamdulillah, nasib kami lebih baik, gumamku.

Pangonan Cilik yang Sama Sekali Tidak Cilik

Akhirnya, pukul setengah 9 malam kami sampai di tanah lapang, sepertinya Ranu Kumbolo sudah dekat. Padang rumput yang cukup luas, sepadan dengan Oro Oro Ombo sepertinya, namanya Pangonan Cilik (kontras dengan namanya). Para porter awalnya menasihati kami agar nge-camp di tempat tersebut, karena di Ranu Kumbolo terlalu ramai, jadi kurang nyaman. Tapi saat kami tanyakan sumber air, mereka bilang ya tetap di Ranu Kumbolo. Di tengah kebingungan kami, akhirnya pak Turi muncul, rupanya beliau berniat menjemput kami, meski cukup telat, dan akhirnya kami pun melanjutkan perjalanan sampai Ranu Kumbolo. Rupanya jarak yang kami tempuh untuk melewati padang rumput itu sekitar 30 menit, jarak cukup jauh. Untungnya kami tidak langsung mengiyakan rekomendasi para porter muda tadi....
trek yang kami lalui (garis biru), dari Ranu Pani hingga ke Ranu Kumbolo via Ayek Ayek
Sampailah kami di Ranu Kumbolo, setelah 5 jam berjalan kaki, dengan 3 jam tanjakan murni, waktu hampir pukul sembilan malam. Segera kami persiapkan ketiga tenda kami, 1 tenda besar, 1 tenda single, dan 1 tenda khusus. Tenda besar yang muat 4 orang untuk kami pakai bertiga, yang laki-laki, sementara Anif di tenda single, dan satu tenda lagi, buat besok pagi. Malam itu pun, kami menikmati ransum TNI yang dibawakan Anif, tanpa perlu repot memasak, cukup memanaskan sebentar, makanan enak dan berenergi bisa kami nikmati, alhamdulillah.
_________________________________________________________________________________

Ranu Kumbolo, cinta, bersahabatan, kenangan, tekad

Tak terasa, tujuh bulan yang lalu, di tempat yang sama, namun di sisi lain Danau indah ini, Ranu Kumbolo. November 2012, saat itu suasana begitu ramai, rombongan kami total ber-44 orang, nyaris menyamai jumlah personel JKT48, hingga kami pun menamai diri JKT-44. Kala itu, suasana begitu ramai, malam-malam kami isi dengan acara masak dan makan bersama, bermain kartu hingga larut malam, dan melewatkan kesempatan melihat hujan meteor, karena terlajur terlelap. Bahkan, dari personel pendakian lalu, hingga ada yang pada akhirnya akan menikah, minggu depan, Angga dan Himi, pikirku melayang-layang.
Ah, tapi kali ini bukan waktunya bicara soal itu, dan sudah ku sadari sejak awal, tak ada pula korelasi antara menaiki Tanjakan Cinta "tanpa menoleh", yang bahkan ku lakukan sampai 2 kali, dengan apa yang ku jalani saat ini. Selesaika apa yang sudah kita mulai, satu misiku, Mahameru.

totally new team : Anif (atas), Eko/Gori*a (kiri), Tri/Omes (kanan)
Malam ini, aku kembali, dengan sosok-sosok baru yang tak satu pun belum pernah ku kenal sebelumnya. Saat ini tujuan utamaku adalah Mahameru, menginjakkan kaki di titik tertinggi Pulau Jawa, jalan masih panjang, energi harus di jaga, dan keyakinan tak boleh goyah. "Kali ini, tak ada kata gagal lagi, pria sejati, tak akan menyerah hanya oleh kegagalan, apalagi dalam sekali percobaan, Mahameru", batinku berucap, sambil menepuk-nepuk lututku, yang ku harap tak akan bermasalah lagi. Mataku main berat, aku pun terlelap dengan iringan playlist pilihan yang mengalun lewat earphone yang terjejal di telingaku.

bersambung ....
Catatan Perjalanan Semeru II , Penantian Sebuah Janji di Garis Batas, Kalimati. Ketika hati benar-benar berdoa, menanti dalam harap-harap cemas, dan sebuah tekad saat kuat menatap megahnya Mahameru.

_________________________________________________________________________________







Persembahan khusus, untuk Angga dan Aulia, dulu dan kini :
Nov 2012, Juni 2013 (Barokallah Angga dan Himi)


Comments

Post a Comment