Catatan Perjalanan Semeru II (Menanti Janji di Garis Batas, Kalimati)

Menanti Janji di Garis Batas, Kalimati

 Sambungan dari Catatan I
Udara yang semakin malam semakin dingin di dalam tenda sungguh manjur untuk membuat tidurku harus tersela beberapa kali, belum lagi rasa nyeri yang mulai menjalar dipundak. Tekanan dari tas seberat kurang lebih 20 kilo yang menggelantungi kulit yang nyaris tak berlapis lemak untuk beradu langsung pada tulang tadi mulai terasa efeknya, nyeri karena tekanan ditambah dingin yang menusuk, kombinasi yang cukup sekedar untuk membuat tidur sambil meringis.
Setelah terbangun untuk yang ke sekian kalinya, kali ini ku rasa sudah cukup istirahatku, hmm, sudah jam setengah lima, waktunya Subuh. Ku bersihkan kedua mataku dari kotoran yang tebal seperti lem di pojok-pojoknya, pasti dari akumulasi debu yang terpapar selama perjalanan kemarin. Udara masih saja dingin, tarikan nafas pun masih terasa berat, suasana di luar masih sepi, tampaknya langit juga masih gelap, untungnya perutku bergejolak, hingga tak terlalu lama aku mengulur waktu untuk berlama-lama melamun pagi itu. Segera aku bergerak keluar dari sleeping bag yang hangat, nyesss, udara begitu dingin, ku lepas kaos tangan dan kaos kakiku, semakin dingin saja rasanya, dan lebih nyess lagi saat kepalaku mulai keluar dari tenda, Ya Allah, pantas saja sholat Subuh begitu berat bagi orang-orang munafik, hehe...
Setelah lepas dari godaan hangatnya di dalam tenda, aku bergegas mengambil wudlu, ternyata sorot-sorot lampu dipinggir Ranu Kumbolo bertaburan, sial, rupanya tadi rasa malas dan dingin itu hanya ilusi, karena setan-setan yang menutup telingaku dari keramaian pendaki yang beriman dan tiupan mulutnya yang membuat dingin, hah!, ku kepalkan keduan tangan dan mengibaskanya ke bawah, *dalam arti sebenarnya*, sebagai mantra pengusir setan malas yang menggodaku. Pelajaran yang bisa kita petik adalah, rasa lelah dan dingin itu ilusi, jadi pake lah mantra penyemangat dengan kepalan tangan dan buang nafas dengan penuh kekuatan, hah!, atau mantra yang Anda miliki sendiri, *don't try this at home, coba saja saat Anda di gunung :)



Pagi Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo adalah danau yang terletak di lereng gunung Semeru, pada ketinggian 2.400mdpl, luasnya kalau di wikipedia mencapai 14hektar, kurang tau juga aslinya, tapi tak penting juga karena seberapa pun luasnya, danau ini menyuguhkan pemandangan yang menyihir. Danau yang begitu luas, berada di ketinggian yang cukup tinggi, di kelilingi bukit-bukit berumput hijau dan pepohonan yang luar biasa.
Jika ada yang menanyakan, saat apa Ranu Kumbolo terlihat paling bagus? tentu, setiap saat.
Ketika fajar menjelang, semburat jingga dari matahari yang bersiap naik di antara 2 bukit di ujungnya begitu indah. Begitu matahari mulai nampak, hingga naik ke atas di siang hari, pantulan airnya membawa suasana yang damai. Tiupan angin yang menerpa permukaan air membentuk riak air yang membuat hati terbawa dalam ketenangan yang dalam, seiring gerakan mata yang tenang mengikutinya.

Ketika matahari terhalang kabut, maka suasana yang lain lagi yang disuguhkan, tetap memancarkan indahnya ciptaan Tuhan, yang bukan hanya pelangi. Bahkan, ketika malam menjelang pun, kita cukup menengadahkan wajah ke atas, suguhan kerlip cahaya bintang yang jauh berbeda dengan di Jakarta. Sambil menikmati kopi dan kebersamaan, kita bisa sedikit merenengi kebesaran Tuhan, yang tercermin dari bintang-bintang yang Ia sebar di luasnya jagat raya.

Subuh hari, siap sambut hari
suasana pagi yang berkabut, sebaiknya kembali ke tenda bagi yang sedang galau
refleksi ketika siang hari
memandang pemukiman pendaki dan trek Tanjakan Cinta dari kejauhan





Mengisi waktu pagi hari, sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyiapkan ....
sarapan, dan sambil menunggu kami (aku, Anif dan Eko) berjalan-jalan menikmati keindahan alam dan menyapa para pendaki lain. Di antara yang kami temui ada rombongan dari kampus ITI (Institut Teknologi Indonesia), rombongan mereka sebagian besar adalah mahasiswi, lalu ada 1 dosen yang ikut. 
pemukiman pendaki, sisi yang lain, jujukan
Mereka bercerita, berangkat dari Ranu Pane sekitar pukul 4 sore, hampir bersamaan dengan kami, tetapi jalur yang kami lalui berbeda, mereka bersama para pendaki lain melewati jalur Watu Rejeng, sementara kami melalui Ayek Ayek. Akan tetapi, mereka baru sampai di Ranu Kumbolo sekitar jam setengah 10 malam, 1 jam lebih lambat dari kami, kami bertiga pun saling berpandangan, campuran antara lega dan bangga mungkin, karena meski harus melalu saat-saat sulit semalam, kami masih lebih cepat dari pendaki yang melewati jalur normal. (meski perbandingannya sebenarnya ngga jeruk to jeruk, lah mereka banyak ceweknya sementara kami cuma 1).
Tapi dari perkiraanku, jalur Watu Rejeng pastinya akan becek banget saat hujan, ditambah lagi dengan banyaknya pendaki yang lewat, yg pasti menambah licinnya jalur. Sementara di jalur Ayek-ayek, sepanjang tanjakan hampir tidak ada trek licin, trek yang becek dan licin hanya ada setelah puncak bukit, tapi dengan catatan, meski tak licin tapi ngos-ngosan.
Selain keindahan danaunya, kali ini bunga-bunga ungu yang bermekaran menghiasi sekitar pinggiran danau juga menambah cantiknya alam. Saya sendiri tidak terlalu yakin sebutan bunga ini, mungkin saja lavender.

lavender ungu di Ranu Kumbolo
Yang cukup berbeda lagi pemandangan di Ranu Kumbolo kala itu adalah 1 keluarga bule (orang ras kulit putih) yang berkemah juga, ayah dan ibu yang sudah cukup berumur dengan seorang anak gadisnya yang meski fisiknya besar tapi pasti umurannya masih anak SD. Kebetulan tenda mereka tepat berada di depan tenda kami, tapi jaraknya cukup jauh. Yang menarik adalah, melihat tingkah anaknya yang tampaknya tidak bisa ikut tertarik menikmati alam. Terlihat saat kedua orang tuanya tampak membujuknya untuk keluar dari tenda (yang sangat mungil untuk ditempati bertiga), dan si anak masih saja bertahan di dalam, sementara di samping tendanya, di tenda yang lebih besar dari yang mereka tempati, para porter mereka sudah menyiapkan berbagai makanan yg terlihat menggoda, sandwich dengan berbagai pilihan isi, sosis yang telah dipanasi, telur di atas wajan teflon itu, ah nikmatnya membawa koki, kami pasti akan bersemangat kalo ditawari, hehe. Sampai begitu lama, si anak tetap bertahan di dalam, setidaknya mungkin ada 2 alasan, dia tidak suka udara dingin, atau dia masih ngambek karena dari saat di Ranu Pane (hari sebelumnya) tidak menemukan toilet yang layak, hehe, problem bangsa Indonesia yang disorot oleh orang luar, tapi dianggap sepele di negeri sendiri adalah persoalan ini, toilet (sanitasi)!!!

Tanjakan Cinta Season II
Pukul 09.15 pagi, kami telah selesai sarapan dan membereskan tenda, siap melanjutkan perjalanan menyongsong puncak tertinggi pulau Jawa, Mahameru. Target kami hari ini adalah sampai pos Kalimati, berdasarkan informasi jarak Ranu Kumbolo bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3-4 jam dan jalurnya juga tidak berat.Tapi aku sendiri belum pernah sampai di Kalimati, dan mengingat kejadian malam sebelumnya, kami memilih untuk menghindari resiko, dengan menambah 1 porter lagi. Jadilah kami berempat tinggal membawa 2 carrier, 1 carrier yg kecil dibawa Tri, sementara yang satunya bergantian antara aku dan Eko, dengan pembagian bagianku adalah saat ditanjakan, sementara Eko di turunan.
Setelah berdoa bersama, kami pun memulai langkah lagi. Ujian pertama lepas dari Ranu Kumbolo adalah Tanjakan Cinta, yaitu trek menanjak dengan ketinggian sekitar 150 meter, dengan mitosnya : jika tidak berpaling selama menanjak, maka kisah cintanya akan sukses. Tidak usah diperdebatkan soal mitosnya, tapi dengan beban 20kg di pundak untuk melewati tanjakan sepanjang itu memang diperlukan fokus, jika kita berhenti dan berpaling ke belakang akan sangat berbahaya, karena saking terpesonanya sama indahnya pemandangan dibelakang, jadinya makin capek deh tuh kerasanya tas yang di belakang :)

Tanjakan Cinta
Yang menjadi favorit setelah melewati Tanjakan Cinta adalah beristirahat di bawah pohon yang ada di atasnya, kita bisa mengatur nafas sejenak sambil kembali menikmati eloknya pemandangan. Hiburan alternatifnya adalah melihat perjuangan pendaki di belakang kita yang baru naik, kalo membawa lensa tele bisa dapet ekspresi yang mungkin menarik,...

Oro Oro Ombo, Dulu dan Kini
Setelah sampai di puncak Tanjakan Cinta, setelah berjalan sekitar 50 meter saja, kita bisa melihat padang savana yang cukup luas ini. Untuk melewati Oro Oro Ombo ini ada 2 pilihan jalur yang bisa diambil, kita bisa melewati tengah-tengah savana atau melewati pinggirannya, dengan konsekuensinya masing-masing. Di ujung savana tampak pohon-pohon cemara yang menyambut sebelum bukit yang menyembunyikan puncak Mahameru yang malu-malu di belakangnya.
trio marjan dan manajernya di tepian Oro Oro Ombo
Pemandangan di Oro oro Ombo ketika musim penghujan sangat indah, di sepanjang mata memandang, bunga-bunga ungu bermekaran, kontras dengan kondisi saat musim kemarau. Bukan berarti tak indah saat padang itu menjadi coklat dan kering, hanya saja masing-masing dengan konsekuensi sendiri, warna semarak ungu yang indah dan menceriakan, dan warna coklat yang elegan.

jalur di tengah-tengah Oro Oro Ombo
hamparan bunga di sepanjang savana
Perbandingannya :
Juni 2013, saat menghijau dan berbunga, Nov 2012 saat mengering

Cemoro Kandang - Jambangan - Kalimati
Cemoro Kandang adalah pintu masuk ke hutan cemara setelah kita melewati Oro Oro Ombo, berada di ketinggian 2.500mdpl. Di area ini terdapat batang pohon tumbang yang cukup asik untuk bersantai untuk melepas lelah. Pepohonan cemara yang tinggi-tinggi menjadi pelindung kita dari paparan sinar matahari, sejuk. Tempat ini menjadi tempat favorit pendaki untuk beristirat dan makan ringan, yang sayangnya akibat ketidak-pedulian sebagian pendaki, yang dengan mudahnya membuang bungkus makanannya hingga mengurangi keindahan pandangan. Sayang jika mereka yang mengaku pecinta alam, tapi malah merusaknya, seperti pria tak bertanggung-jawab yang hanya ingin mengambil keuntungan dari pacarnya saja.....

Sign Cemoro Kandang, foto dari mbak Endah L.A.
Perjalanan dari Cemoro Kandang merupakan perjalanan melalui hutan cemara, dengan trek yang cukup bervariasi antara tanjakan dan cukup datar, seingat saya hanya ada beberapa tanjakan yang cukup panjang. Namun dengan pepohonan cemara di sepanjang jalur, saat lelah pun kita bisa beristirahat hampir di mana saja tanpa perlu berpanas-panasan.

Jambangan berjarak sekitar 3 km dari Cemoro Kandang, dari sini puncak Mahameru bisa terlihat jelas. Selain itu, trek dari Jambangan (2.685mdpl) sampai Kalimati (2.700mdpl) juga tidak ada lagi tanjakan, dengan jaarak sekitar 2 km kita bisa agak bersantai jika sudah sampai di titik ini.

Kalimati, Suatu Batas Penantian
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang melancarkan perjalanan hari kedua kami, pukul 12.30 WIB kami pun sampai di target kami hari ini, Pos Kalimati. Berikutnya kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda, yang ternyata sudah dicarikan oleh porter kami, Pak Turi, kami tinggal menggelarnya, di tempat yang sesuai buat kami, tanahnya datar, bukan di jalan air hujan, dan tentunya berada di ujung, berharap cukup menyingkir dari keramaian.

Air untuk memasak dan air minum pun sudah disediakan oleh beliau, alhamdulillah. Sebagai informasi, camping terakhir sebelum ke puncak Semeru ada 2, yaitu Kalimati dan Arcopodo. Kalimati berada di ketinggian 2.700 mdpl, sementara Arcopodo (2.900mdpl) tentunya lebih dekat dengan puncak hingga bisa lebih cepat trekking untuk summit, bagi yang sudah menonton film "5cm", rombongan Genta dkk berkemah di Arcopodo. Ada keuntungan tentunya ada kekurangan, yaitu sumber air. Satu-satunya sumber air di sebelum puncak Semeru adalah Sumber Mani, berjarak sekitar 30-45 menit dari Kalimati, sementara itu jika di Arcopodo hampir tidak mungkin lagi untuk mengambil air. Jadi jika ingin berkemah di Arcopodo harus membawa persediaan air yang mencukupi. Makanya kami lebih memilih di Kalimati, safety first :)

Begitu 2 tenda didirikan, logistik pun segera kami keluarkan, akumulasi rasa lelah dan lapar setelah berjalan cukup jauh sudah begitu terasa. Sementara di sebelah kiri kami, puncak Mahameru yang hendak kami tuju tampak berdiri megah dengan dinding pasir yang tampak abu-abu campur putih dari kejauhan, awan dan kabut menyelimuti puncaknya hampir setiap waktu, hanya sesekali saja puncak itu bisa terlihat, butuh tenaga ekstra malam ini!!!.

Menu makan siang kami kali ini cukup istimewa, dengan lauk kering tempe dan dendeng masakan ibunya Eko. Tempe adalah makanan semi wajib buatku, mungkin semacam kerupuk bagi sebagian orang. Lama menunggu nasi masak, aku pun sudah asik ngemil kering tempe itu, sementara Tri rajin membakar sosis so nice di trangia. Minuman teh hangat, coklat panas dan jahe sangat nikmat untuk dinikmati, karena meski di siang bolong, udara tetap saja dingin.

Setelah makan dan sholat Dzuhur dan Ashar yang kami jama', aku pun sejenak menikmati hobiku, untuk sekedar menepi sejenak. Bukan melamun, tapi untuk tersenyum, mensyukuri apa yang sudah ku capai, dan membakar semangat untuk yang ingin ku raih di depan, bismillah!!!

ketika memandang tanah para dewa itu
Dan saat kembali ke tenda, ternyata Tri dan Anif sudah terlelap tidur, sementara Eko masih asik dengan batang rokoknya. Begitu ia selesai dengan urusannya, kami pun mengobrol dari masalah timur sampai barat, karena kami semua memang baru saling kenal. "Apa sih tujuan kamu untuk naik gunung Wan?", begitu di antaranya, kebetulan dia memang orang yang hobi membaca buku dengan bahasa berat, tapi sesungguhnya itu adalah pertanyaan bagi semua orang, biarkan hati kita masing-masing yang menjawab. Saat dalam perjalanan di bukit Ayek Ayek rupanya kami sempat mendapat signal operator hp, ada kabar lewat sms ke Eko dari Vigor, dia sudah dapat tiket Jakarta-Malang untuk hari Jumat, jam 2 siang.

Sore itu, kami sedang menunggu. Kami berdua pun berhitung perkiraan waktu sahabat kami yang "gila" itu bakal menyusul kami. Jika pesawat dari Jakarta jam 2, maka sampai Malang jam 3. Berikutnya dari Bandara ia akan naik ojek langsung ke Ranu Pane, sampainya bakal sekitar jam 4. Jam 4 start, dengan kecepatannya yang sering mendaki, dan tanpa beban akan lebih cepat dari pendaki biasa, sampai Ranu Kumbolo sekitar Maghrib, berikutnya Ranu Kumbolo ke Kalimati, mungkin sekitar jam 9 malam ia akan tiba. Jika memang cukup gila, kami pun tertawa sendiri membayangkan kegilaan kawan satu ini....

Mungkinkah ia akan bisa menyusul kami? Soal ini aku yakin, pasti dia memenuhi janjinya. Tapi sekuat keyakinanku itu, aku juga tidak yakin akan membiarkannya melanjutkan perjalananan sampai ke Puncak, apabila kondisinya terlalu mengenaskan. Karena kami berniat untuk memulai summit attack pada pukul 23.30 WIB, kami harus memastikan ia sudah cukup beristirahat sebelum berangkat, jika memang bisa menyusul. Karena buatku pribadi, ia sudah menjadi juara saat berhasil menyusul kami ke Kalimati, tanpa perlu ke puncak.

Sore itu, hingga Maghrib menjelang, matahari telah hilang di barat, kami sedang menunggu, di garis batas, antara normal dan kegilaan, antara ijin dan di luarnya, dalam harap-harap cemas, dan beratnya menjaga kesadaran....

Comments

  1. fotoku sing mejeng dimari cuman foto plank cemoro kandang :(

    ReplyDelete
  2. eh, ada mbak en, *sungkem.
    Itu sama Oro-oro Ombo, yang versi kering dan meranggas tapi :D

    ReplyDelete
  3. asek asek dikanggoknooo...
    baiklah, aku menahan ego untuk tidak iri nyampek pucukan 3626 ituh

    ReplyDelete
  4. 3676 mdpl deng, duuhh.. korupsi seket meter

    ReplyDelete
  5. 50 meter itu bisa jadi 30 menit lo mbak, kalo lagi trek puncak.
    Eh, mbak endah belum pernah ding ya? :p *siap-siap digampar

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Post a Comment