Argopuro, Gunung Tak Selamanya Soal Ketinggian

 Sebuah Catatan Perjalanan, 12 Mei 2012 - 17 Mei 2012

Hanya perjalanan singkat, 40 km dari desa Baderan menuju desa Bremi. Sekedar berjalan naik turun, di gunung yang namanya tak setenar Semeru, apalagi Rinjani. Tak lupa menikmati indahnya ciptaan Tuhan, tersenyum pada segarnya udara yang sepoi menyapa.
 
"kalian pulang ndak mungkin ngga terseok-seok kakinya, hayo,..iya kan?, nah gitu, resiko!! 
Gunung dimana di seluruh dunia banyak yang mati ....
kalian siap ngga? kalo ngga siap kembali saja" 
Petikan nasehat sederhana yang mengiringi langkah awal kami.

lanjutan dari : Berlari ke Kaki Rengganis

1. Hari Satu, dari Peradaban hingga hanya Ada Kita dan Bintang
Sabtu, jam 1 siang. Ijin sudah di tangan, perut pun sudah kenyang, ayo kita jalan. 
Tak disangka beban berat yang harus kami tanggung, bayangkan di siang bolong, jalanan menanjak, beras seberat 5kilo harus kita gendong, layaknya bayi secara bergantian, menambah beban carrier yang rata-rata sudah diatas 20kilo, makjang....
mulai pendakian dengan semangat membara, apalagi si ransel merah yg paling depan :D
istirahat sambil merokok di tengah ladang tembakau, sedap

view hari 1, antara ladang warga, lembah dan bukit
melepas lelah, ber-iPod, berpuisi, ber-cemilan, dan bersemedi (atau tidur ya)
kami hanya terus berjalan, sesekali beristirahat, minum dan memutar beberapa lagu, yang berkutat di lagu "Thousand Year-nya Chritina Perri", dan beberapa lagu lain yang seirama. Yah, tak lain tak bukan, soal cinta yang membuat mereka menggalau, terutama pasti pemimpin rombongan, Adhi, dan tak lupa, pemandu perjalanannya, Menceng.
Hingga akhirnya malam tiba, sudah lewat dari jam 8 malam, dan akhirnya kami menemukan tempat yang cukup datar untuk mendirikan tenda. Kami pun membagi tugas, menyiapkan makanan dan mendirikan tenda, dan ada saja yang sibuk dengan handphone-nya, yah, kalo udah kecanduan online mau gimana lagi ya.
nikmatnya makan malam pertama kami, lauk tempe dan wortel goreng

2. Hari Dua, Penuh Asa hingga Akhirnya Senja Tiba

Gerimis menyapa kami dari pagi hari Minggu itu, hingga kami pun harus menunggu untuk membuat sarapan. Akhirnya kami baru bisa menyelesaikan ritual sarapan dan beberes tenda pada pukul 11-an siang. Mulai berjalan lagi, sekitar 1,5 sampai 2 jam kami tiba di Mata Air Pertama. 
Disinilah terdapat sumber mata air yang pertama setelah lepas dari peradaban, cukupkan mengisi air untuk perbekalan berikutnya, air dapat diambil dengan berjalan menuruni jalanan setapak menurun menuju mata air.
Dan di pos ini pula kami berpapasan dengan rombongan yang dinyatakan hilang sebelumnya. Kebetulan saat kami naik beredar berita ada pendaki yang hilang atau sakit parah saat naik Argopuro. Ternyata itu adalah rombongan salah satu sekolah menengah atas, dan kebetulan ada satu orang anggota yang sakit, seorang wanita, sepertinya akibat kekurangan oksigen. Wanita itu digendong dari atas, dan saat di mata air satu ku lihat ia hanya tergolek lemas, belum sadarkan diri. Mereka lanjut turun ke bawah, kami pun beranjak melanjutkan perjalanan. 

mata air satu, yang "harusnya" dicapai pada hari satu
bukan narsis, sekedar bukti kami benar disini :p
Trek hari satu masih didominasi jalanan setapak menanjak seperti gunung-gunung pada umumnya. Tapi dengan rasa yang lebih khas, semak-semak yang lebih tinggi dan rimbun. 

belantara, ku datang
lanjut
ini baru permulaan, kawan

senja itu cantik


Selepas Maghrib kami pun sampai di alun-alun kecil. Ia adalah padang rumput dengan luas yang lumayan besar, tapi kalo dari namanya aku mengira pasti ada yang lebih besar. Rumput disini sungguh tebal, beda dengan rumput lapangan bola.
Kami break untuk mendirikan sholat Maghrib dan Isya sambil menyiapkan minuman hangat dan camilan untuk mengisi energi guna melanjutkan perjalanan.
Di sini, saat semua lampu kami matikan, sungguh pemandangan yang menakjubkan akan tersuguh di angkasa. Dimana bintang bintang memancar tanpa halangan, ia bersinar elok, membentuk rangkaian yang menjadi penunjuk jalan (bagi yang tau, sayangnya aku tidak). Sangat berbeda dengan keadaan di Jakarta, dimana lampu-lampu telah merusaknya.

inilah, alun-alun kecil
Dari alun-alun kecil kami lanjutkan perjalanan lagi berhubung kami sudah cukup terlambat dari apa yang telah direncanakan. Target kami secepatnya sampai Cikasur. Kami berjalan beriringan, dengan selama perjalanan malam aku yang berjalan paling belakang, dengan alasan kalau hilang tak akan apa-apa, haha, bukan itu... Staminaku cukup kuat untuk mengimbangi jika mereka berjalan cepat, dan cukup berani untuk menemani jika ada yang terlambat atau aku sendiri yang harus terlambat.
Sampai akhirnya sekitar jam 8 malam kami menemukan tempat yang cukup datar lagi di tengah perjalanan, sementara untuk lanjut lagi kami pun tak punya bayangan. Akhirnya kami nge-camp lagi, entah dimana,...

3. Hari Tiga, dari Alun-alun ke Cikasur yang Makmur

Gerimis lagi-lagi menyapa kami di pagi hari, bahkan lebih rapat dari yang kemarin. Kami pun baru mulai beraktivitas, menyiapkan sarapan sekitar jam 10 pagi. Sedang sebelumnya kami hanya saling menyahut antar-tenda, dan asik menikmati obrolan khas pria :p.
Setelah sarapan dan membereskan tenda, yang masih basah, dan bertambah berat lagi, kami pun melanjutkan perjalanan. Sambil berhujan-hujanan.
gerimis, membuat enggan keluar tenda
jeng-jeng sampai di Alun-alun besar sekitar jam 12 siang,....
alun-alun besar, gambar tak seberapa dari aslinya
sambil berhujanan kita jalan

tapi jangan lupa, pembuktian, itu benar kami, ingat bukan narsis
sepanjang perjalanan kami dari Alun-alun besar ke Cikasur yang diselimuti hujan dna kabut, ada sisa bangunan tua yang samar terlihat dari jalan setapak yang kami lalui. Konon adalah villa peninggalan jaman Belanda, sayang posisinya yang terlalu jauh membuatku urung mendatanginya. Karena tak ada pula yang bersedia menemani, dan waktu kami memang cukup terbatas, tak ada yang tau pasti masih berapa jauh perjalanan di depan yang menunggu kami.
di antara selimut kabut
perjalanan pun berlanjut
sungai yang mengalirkan kehidupan, sederhananya, sayuran untuk dimakan
Ketemu sungai yang begitu jernihnya. Di sini tersedia selada air yang bisa dimasak untuk lauk dengan sambal pecel, ah sedap. Sungai ini pertanda kami sudah dekat dengan pos Cikasur. Waktu menunjukkan pukul setengah 3-an...

hanya sungai kecil, tapi 3 hari dari peradaban
eloknya jalan menuju cikasur
Cikasur, kami datang. Istirahat, masak-masak, sholat dan berburu (gambar) merak. Alhamdulillah kami beruntung menemukan seekor burung merak yang berjalan dengan anggunnya di kejauhan.
Beberapa saat di situ, ada rombongan dari UGM yang menyusul kami, terdiri dari 6 orang, 5 mahasiswa dan 1 mahasiswi, yang terlihat cantik dengan rambut basahnya. Yah, benar-benar cantik atau karena efek kami berada di jauh dari peradaban sebenarnya agak rancu, haha...
Karena selepas ia berbenah dan ternyata ia adalah seseorang muslimah yang sebenarnya berjilbab, ia tampak berubah wajahnya menjadi sosok yang lain lagi di mata kami, hihi....(yah, terpancing keluar dari topik perjalanan).
Back to topik. Konon, Cikasur ini adalah pangkalan pesawat tempur Jerpang pada masa perang dunia II. Wah, jika jaman dulu saja tempat ini sudah begitu majunya, lantas kenapa sekarang bahkan perdaban saja belum menyentuhnya. Dan memang itu tampaknya bukan kabar bohong, karena memang ada sisa-sisa bangunan dan juga sisa-sisa lajur di sepanjang luasnya padang rumputnya.
Bicara soal mistis, banyak pula cerita mistis soal tempat ini, tapi pembahasan mengenai itu jujur bukan ranah saya :)
tara, cikasur kami datang
tak perlu bertanya, sedang apa gerangan...
tolong perhatikan, saya cinta "profesionalisme, integritas, teamwork dan inovasinya DJP", itu yang ingin saya tunjukkan, sekali bukan narsis :p
berburu merak
ia tetap kuat, meski masih tetap sendiri
merak, hasil buruan
Kami pun melanjutkan perjalanan lagi begitu senja hampir menyapa. Target kami selanjutnya adalah Pos Cisentor. Sampai jam berapapun kami harus lanjut, karena disana ada pos yang bisa ditinggali tanpa perlu mendirikan tenda, itulah tekad kami.
jejak-jejak bekas landasan pesawat perang, saksi bisu kemajuan jaman dahulu
Perjalanan berikutnya berawal dari padang rumput. Berlanjut ke trek hutan lagi, di gelap malam dan dalam kondisi basah. Menurutku ini yang terberat dari hari-hari sebelumnya. Karena ada pula jalan meniti pohon rubuh yang basah, otomatis licin, dengan satu sisinya adalah jurang dan satu sisinya ada pohon yang bisa untuk pegangan tapai jika Anda cukup gila untuk membiarkan tangan Anda mendapat sensasi panas luar biasa dari jancukkan. Dan itu adalah di malam hari.
Tapi syukur alhamdulillah, akhirnya kami tiba di turunan jurang, dengan suara aliran sungai di bawahnya. Setelah sungai itulah pos Cisentor berada. Entah, malam itu jam berapa. Tapi kemungkinan sekitar jam 9 malam.

4. Hari Empat, Manisnya Putri Rengganis

Pagi-pagi sekitar jam 8 pagi kami start dari Cisentor menuju puncak. Target kami hari ini menggapai 3 puncak, puncak Argopuro, puncak Arca, dan Rengganis tentunya. Sebelum sampai puncak, di perjalanan kita akan bertemu dengan Rawa Embik. Di sini terdapat sumber air, dan juga bisa dijadikan alternatif buat nge-camp, jika ingin muncak di saat sunrise. Jaraknya mungkin sekitar 2 jam dari Cisentor.


sambutan cerah putri Rengganis
pos Rawa Embik
cover album band baru, Jomblo Permanen :D
pohon tumbang, dimana-mana

Akhirnya kami tiba di puncak pertama sekitar jam setengah 12 siang. Puncak yang pertama kita naiki adalah puncak Argopuro, puncak tertinggi di pegunungan itu, dengan ketinggian 3.088 mdpl. Saat tiba dipuncaknya memang cukup antiklimaks, dimana hanya terdapat tumpukan batu, dan tanpa area terbuka yang cukup untuk memandang pemandangan. Bisa dibandingkan lah dengan puncak Pangrango, puncak gunung tapi pohonnya masih juga lebat. 
Berikutnya ke Puncak Arca.
Di puncak Arca terdapat sebuah Arca, yang tidak aku ambil gambarnya. Karena saya memang kurang tertarik dengan objek seperti itu :).
puncak Argopuro, sebuah antiklimaks
Tapi hutan yang dilalui sepanjang puncak Argopuro ke puncak Arca benar-benar mirip dengan hutannya di film Twilight. Hutang dengan jenis pohon yang sama dan berkabut pula.
antara puncak Argopuro dan Puncak Arca

hutan yang mirip-mirip di film twilight

serius, mirip lo
eh, awas ga percaya :p
turun, untuk lalu naik lagi
menuju Rengganis
Berikutnya, puncak Rengganis
kini, sang Putri telah di depan mata, lalu apa..
kemanapun Anda, jangan lupa bawa fotografer
makam Rengganis
Dandelion, hanya muncul di sore-malam hari
cantik, dan berdiri sendiri
ayo pulang
salamku untukmu, putri :)

5. Hari Lima, Tak Selamanya Turun Gunung itu Jalanan Menurun, Jenderal!!!

Jam setengah 9 pagi kami berdoa dan pulang. Turun gunung itu tak selamanya jalanan menurun, itu yang perlu kami tekankan.

Pos Cisentor, penginapan 2 malam kami

menunggu kopi jahe, sedaaap
tak terasa, kami harus pergi
pembuktian lagi, sebelum pulang
alangkah besar ciptaanNYA
ketemu rombongan mahasiswa Malang
perkebunan, jancukan, rapat nian
turun gunung, terkadang rancu, apalagi kami harus naik dan naik lagi
cemara lima
hutan lumut, di saat Maghrib telah menyapa, kami hampir tersesat dibuatnya, entah kemana kami berjalan di gelap dan beceknya hutan kala itu. Alhamdulillah, akhirnya Allah masih memberikan jalanNya bagi kami.
Taman Hidup, yg sayang sudah gelap
ketika sudah habis-habisan 
semoga tak ada penyesalan :D
Setelah lewat tengah malam, akhirnya kami sampai lagi di peradaban, desa Bremi. Melepas lelah dan membersihkan diri di masjid desa (setelah 5 hari tak mandi). Dan shalat Maghrib dan Isya kami terasa begitu khusyuk-nya dengan kalimat syukur yang tak henti-hentinya, alhamdulillah, Engkau beri keselematan dan pelajaran berharga Ya Allah.
Makan malam kami kala itu, sayur tahu dan teh manis panas di sebuah warung nasi kecil di desa, ah, sungguh nikmat.
biarkan bukti bicara, kaos kaki hingga hancur, kaki berdarah oleh  lintah

6. Hari Enam, Lekas Bangun, Subuh, Mari Bergegas Pulang

Lepas penat, kami pun berburu tempat untuk tidur. Merasa tak nyaman untuk tidur di masjid, apalagi sudah larut malam, kami khawatir tak segera bangun di saat jama'ah Shalat Subuh berdatangan. Akhirnya kami ikut nasehat warga, berjalan terseok-seok lagi menuju pos polisi. Sayang, pos polisi sudah penuh oleh rombongan pendaki yang beramai-ramai baru akan naik, mereka pun sudah tertidur pulas. Tapi kami beruntung, Pak Polisi yang jaga mengijinkan kami untuk tidur dimana saja di luar kantor. Kami pun menempati area parkiran untuk tidur malam itu. Ada yang tidur dengan menggelar matras di bawah, dan aku termasuk yang tidak melakukannya, karena matrasku susah dikeluarkan dari ransel. Untung ada mobil patroli yang bisa kami jadikan kamar yang nyaman pula.
asiknya tidur di mobil patroli
alhamdulillah yah, dapet tempat yang istimewa :)


Oh iya, jangan lupa :

1. Meski dalam angka, puncak Argopuro, dan kawan-kawan tak terlalu tinggi, hanya 3.088 mdpl, jangan berharap cepat-cepat sampai puncak. Sabar adalah kuncinya.

2. Persediaan air di Argopuro melimpah, bawa air secukupnya.

3. Untuk perbekalan, tergantung bagaimana kalian mampu menahan lapar. Jika cukup kuat, minimalkan saja bawaan, cukupkan untuk ukuran 4 hari dalam kesederhanaan, biar bisa ngacir.

jancukkan
4. Jancukkan jangan kau abaikan. Simple sih rasanya pas kena, panas-panas gatel gimana gitu (menurut pendapat pribadiku, mirip kena "uler srengenge/ ulat matahari kali ya bahasa Indonesia-nya"). Cuman, kaos tangan saja bisa tembus.
buahnya jancukkan
5. Banyak cerita mistis di pegunungan ini. Jadi, jaga keimanan kalian, jangan melamun selama perjalanan. Kalo kata Clara yang memberikan itinerary ke kami, di puncak Rengganis ada banyak perhiasan punya Dewi Rengganis bertebaran, bagi yang bisa melihatnya, kebetulan dia bisa katanya. Nah, itu kalo liat, jangan iseng deh. Punya siapapun aja jangan sampai diambil lah kalo bulan milik sendiri, apalagi udah jauh-jauh masak masih dicolong juga.
Aku sendiri syukur ngga bisa melihat perhiasan-perhiasan itu, meski udah ngecek sana-sini di sisa reruntuhan istana di puncak Rengganis. Hanya saja, diantara kuatnya bau belerang, aku sempat mencium wangi bunga melati. Bunga yang istimewa menurutku, lambang kesederhanaan, ia putih, kecil tapi wanginya sungguh tak sederhana. Tapi, begitu aku cari-cari tak satupun pohon melati, atau pun reruntuhan bunga kecil itu ku temukan. Ya sudahlah, semoga itu sambutan yang indah dari sang Dewi :)

6. Usahakan perlengkapan memadai, GPS bila perlu. Dan jika belum ada satupun rombongan yang pernah naik, atau pernah tapi lupa ingatan, jangan sungkan-sungkan, pakai jasa "guide", ga terlalu mahal kok. Paling ga sampai 100rb per hari, itu juga sekalian jadi porter. Jangan main-main dengan keselamatan Anda.

7. Taman Hidup, sayang kami lewatkan karena gelap malam. 
Karena, bahkan menurut Clara lagi, jikapun So Hok Gie pernah kesini, dia pasti akan bikin puisi Taman Hidup, jadi tak hanya Mandalawangi saja yang terkenal.
Ini fotonya, saya ambil dari blog orang lain :

sumber : blog
8. Pakai sepatu yang representatif, ukurannya pas dan emang sepatu gunung. Lebih baik lagi pakai geiter untuk melindungi kaki dari lecet-lecet berat dan dari kena pacet/lintah. 

9. Tetap jaga sholat, bagi yang muslim. Mandi boleh saja ditinggalkan, tapi sholat jangan sampai kau abaikan. 



Comments

  1. serius sampe 5 hari gitu bro?

    ReplyDelete
  2. iya, Sabtu pagi sampai Rabu tengah malam, 5 hari 5 malam :)

    ReplyDelete
  3. mantap.., jd pengen ksana..

    ReplyDelete
  4. iki Kika kah?
    ayo lah raden mas kika, sedikit gerakkan kakimu yang terlanjur kaku karena terlalu sering duduk di meja belajar itu.

    ReplyDelete

Post a Comment