Gede - Pangrango Jilid II, Senja Asmara & Simphoni Pagi Mandalawangi

Sebuah cerita perjalanan ke komplek Taman Nasional Gede Pangrango yang kedua. Setahun lewat sejak perjalanan pertamaku, setahun yang lalu, tepat saat peringatan Isra' Mi'raj. Hiking dadakan karena sebelumnya aku udah merencanakan ikut dalam pendakian umum STAPALA ke Gunung Anak Krakatau yg kebetulan juga berlangsung di waktu yg sama, bahkan aku sudah berhasil mengajak 3 orang teman untuk bergabung. Tapi akhirnya aku sendiri membatalkannya, karena khawatir harus wira-wiri bantuin nyari tempat kuliah buat adikku. Syukur lah semuanya beres, walau tak jadi ikut perjalanan ke gunung purba itu, ada temen temen Korspala BPK yang mengajakku mendaki Pangrango.
detil hiking : 
tema : "lika-liku asmara"
tokoh utama : semua punya kisah unik, yang mengharukan, kecuali aku yang mulus-mulus saja hubungannya :p




theme song : 1. Marry You - Bruno Mars, 2.That should be me - Justin Bieber
Ke Kampung Rambutan

Perjalanan dimulai Jumat 8 Juli 2011 petang, setelah mandi dan ganti baju di kosan, aku kembali ke kantor saat Maghrib. Berangkat dari kantor sekitar pukul 18.45 dan kebetulan barengan dengan Direkturku. Dalam obrolan basa-basi kami, rasanya cukup keren kalo DJP bikin kelompok pecinta alam juga, soal nama selentingan dari bu direktur pun sepertinya bagus, FISKAPALA (fiskus pecinta alam). Ide itu cukup memberi ruang bagi otakku untuk bekerja sepanjang perjalan ke terminal Kp. Rambutan, mencari-cari bagaimana cara mencari kawan dan dukungan, lewat forum diskusi mungkin cukup efektif, tapi kalo mengingat aku sendiri newbie dalam hal petualangan alam, takut juga kalo hanya bisa sebagai kompor tanpa tindak nyata.

Dari Kantor, aku menuju Kp Rambutan, busway-lah yang menjadi pilihanku. Dari halte LIPI aq naik busway arah Pinang Ranti, dan harus menunggu lama karena aku membawa tas carrier yg cukup besar jd tentu tak enak dg pnumpang lain jika busnya terlalu sesak untuk ku masuki. Seharusnya untuk menuju Kp. Rambutan aq transit di halte Cawang BNN untuk pindah ke bus yang menuju Kp Rambutan, tapi saat hendak turun, petugas dengan arogansinya melarang kami ...
yg mau transit untuk turun, dan menyuruh transit di halte Cawang UKI. Jadwal berkumpul kami adalah pukul 9 malam, setelah diundur dari sebelumnya, setengah 8. Saat itu di Cawang UKI, sekitar pukul 19.30, dan aku pun harus menunggu hampir 1 jam untuk akhirnya bisa mendapat bus, setelah antrian panjang yang sama sekali tidak tertib, karena orang-orang yg seenak jidat memotong dan menyerobot antrian, ditambah jumlah bus yang amat sangat terbatas jumlahnya. Alhamdulillah, setelah perjuangan keras mengantri, berdiri di bus dan menduduki tas yang tepat diatasnya aku menaruh mie instan, aku bisa sampai di Kp. Rambutan sebelum setengah 10.

Begitu turun dari busway dan clingak clinguk bertanya pd petugas untuk mencari terminal luar kota, ada suara yang memanggil-manggil dari seberang jalan. Ku lihat ada segerombol orang di depan warung dekat pintu keluar terminal, dan mataku tak sanggup melahap pandangan dengan intensitas cahaya lampu malam yang temaram itu. Akhirnya sambil berjalan mendekat, aku pun mengenal suaranya, Wira, orang yang selama 3 tahun hidup bersamaku dalam satu rumah, teman kosku ketika kuliah, dan kebetulan sejak lulus belum pernah bertemu sekalipun meski kami sama-sama di Jakarta, ya baru sejak 2008, hampir 3 tahunan lah. Kontras dengan adik kelasku yang kini satu kos denganku, yang ada saja alasan untuk berkumpul dan nge-mall dengan ex teman-teman kosnya dulu. 
Pertemuan yang tidak sepenuhnya kebetulan, karena ia adalah salah satu "korban" ajakanku untuk ikut Pendakian Umum STAPALA ke Anak Krakatau, dan ini adalah rencana trip kedua kami yang tetap saja gagal mempertemukan kami, sebelumnya dia juga sudah mjd "korban"ku ikut trip ke Ujung Kulon, sayangnya dia yg kala itu cancel, karena pulang kampung adalah hal yang sudah mendarah daging baginya, bahkan sejak jaman kuliah. Tak pernah rela ia memberi sehari libur pun pada Ibukota Negara ini bersamanya. Selain Wira, ada juga miss Yoga yg juga menjadi "korban" ajakanku, sementara itu salah seorang anggota barisan sakit hati juniorku juga membatalkan tripnya, dengan alasan yg tidak bisa diterima, persiapan Prajab yang masih 2 minggu lagi.
Setelah bbrp menit mengobrol, aku pun bergegas menemui temanku yg sudah menunggu di terminal luar kota. Saat itu baru ada 1 orang yg datang, Febri. Sementara dedengkot kami dalam hal mbolang, Habibi dan Korlak perjalanan, Takai belum nampak batang hidungnya. Bahkan sore tadi dia berencana batal ikut, karena baru saja ia kembali dari Papua, dan Seninnya ia harus menghadapi sidang skripsi. Dan tak bbrp kami menunggu, stlh Isya terlebih dulu di terminal, mereka muncul berbarengan. Salut juga buat mereka berdua!!! 

Jakarta-Cibodas

Pukul stgh 11 meluncur dengan bus jurusan Tasik/Banjar via Cibodas, dengan ongkos @15rb. 

Sekitar pukul 3 kami pun mendarat di Cibodas dan lanjut angkot ke pasarnya @5rb. Lanjut tidur di warung yng menyediakan lantai bertikar yg cukup lapang dan dingin yg menusuk tulang, yg disebut teman dg "penginapan". Alhamdulillah bisa tidur walau sejenak, selepas Subuh dan tidur-tiduran sebentar kami pun memesan sarapan, nasi goreng. 
Lanjut dengan mencuci perabot yg dibawa, karena semuanya perabot kotor yg dipakai Korsapala BPK ke Merbabu 2 minggu lalu. Melihat isi tas itu, bisa diketahui tak ada pakaian bersih yg "salah seorang teman kami yang pasti kalian tahu" bawa, pakaian dalam sekalipun.



Karena kantor perijinan baru buka pukul 9 pagi kami pun menunggu untuk mulai naik, sekalian pesan nasi bungkus sebagai bekal perjalanan. Oh ya, sebelumnya, buat saweran, masing-masing kami iuran 100rb sbg dana bersama.

Cibodas, a start point

Akhirnya, pukul 9 kami registrasi dengan fotokopi KTP, karena tak bawa, aku pun registrasi dengan salah satu dari fotokopian kartu KORPRI yang selalu kusediakan di dompet untuk mendapat diskon 10% buat beli tiket kereta jika pulang kampung.

Selesai registrasi sekitar pukul 09.30 dan langsung berangkat!!!!



jalur wisata
Diawal perjalanan, jika kita mendaki Gede-Pangrango dari Cibodas maka jalur wisata yang tersedia, dengan jalur model tangga-tangga berundak yang terbuat dari tatanan batu. Wisata air terjun Cibeureum yang berjarak 2,8 km dari pos Cibodas, dan diberi tanda-tanda berupa tugu semen di pinggir jalan dengan jarak setiap 1hm (0,1km).
sign tanda jarak ke air terjun


Jalur yang berundak-undak yang tertata rapi memang enak bagi wisatawan, tapi buat pendaki justru yang membuat capek. Karena tekanan pd kaki saat menumpu lebih berat, apalagi ketika sedang turun. 

Yang menyenangkan di jalur ini adalah aliran air di pinggir jalan yang cukup deras, suara gemirik air mengalir membawa suasana damai sendiri bagiku.




aliran air di pinggir jalan

Dan setelahnya, ada jembatan kayu yang cukup panjang saat melewati Rawa Galonggong. Di tahun lalu, aku begitu takut melewati jembatan itu karena susunan kayu-kayunya yang tak rapat. Tapi kali ini alhamdulillah aku bisa melibas jembatan itu begitu saja, meski masih agak deg-degan kalo terperosok di lubangnya :D. 
jembatan kayu di atas rawa Galonggong
Selanjutnya, setelah melewati persimpangan antara air terjun dan gunung di Penyancangan, tak banyak yang bisa diceritakan selama perjalanan naik gunung, masing-masing kami harus pandai-pandai mengatur nafas dan memilih jalur yang paling nyaman. Biasanya jalur pendaki ada 2 pilihan, nyaman tapi memutar, atau cepat tapi nanjak dan berbatu/licin. Begitu-begitu saja, tapi konstan berjam-jam, hehe...
Kecepatan pendakian kami kali ini cukup santai, mulai jalan pukul 09.30, jam 12 siang kami istirahat besar. Makan siang dengan nasi bungkus + telur mata sapi, dengan tambahan orek tempe dan sambal. Masih ada sisa kehangatan pada nasi, dan itu terasa begitu enak karena di campur dengan akumulasi rasa lelah.
Yang disayangkan dari para pendaki gunung adalah tindakan ceroboh dengan membuang sampah sembarangan, vandalisme, dengan mengukir kulit pohon dengan namanya atau nama orang pujaannya, sungguh tindakan yg tidak bertanggung jawab. Lalu, apa yang mereka namakan pecinta alam?
kami menemukan kampes buangan juga :(
Air Terjun Air Panas

uapnya asli dari air panas, bukan efek loh


Senja Asmara di Kandang Badak

Pukul 3 sore kami pun akhirnya sampai di kandang badak. Dengan sisa tenaga yang sudah menipis, niatan kami yang awalnya ingin nge-camp dan bermellow-mellow di Mandalawangi pun dibatalkan dengan penuh kesadaran bersama. Berikutnya kami segera menetapkan rencana nge-camp di Kandang Badak dan baru mendaki ke puncak minggu dinihari, tanpa membawa barang-barang untuk mengejar sunrise. 
Bergegas mendirikan tenda setelah mendapat tempat yang strategis (diantara sisa-sisa tempat yg ada lebih tepatnya, karena kami datang di belakang pendaki-pendaki lain).

Akhirnya, selepas menjama' sholat Maghrib dan Isya, sesi utama pendakian di mulai, hahaha. 
Edisi curcol, berbagi lika -liku kisah asmara. Dengan ditemani minuman coklat hangat, cerita-cerita asmara pun mengalir indah.
Berbagai kisah asmara yang tak disangka-sangka, dari orang-orang yang belum pernah meneguk tahta pernikahan. Tak pernah terdengar kisah sepak terjangnya dalam berpacaran. Bahkan, sentuhan dengan lawan jenis pun menjadi satu pengecualian yang hanya terjadi karena keadaan luar biasa.
Cerita-cerita indah penuh dengan kegalauan, rasa sakit dan pengorbanan yang membawa banyak pelajaran bagiku, bahwa hati bukanlah mainan.
Sesi curhat berakhir ketika masing-masing kami jatuh tertidur dalam buaian hangat sleeping bag yang menjaga kami dari dinginnya udara yang menusuk-nusuk tulang.
   
Ga butuh cinta? ITU FITNAH NYATA!!!
Menuju Puncak Pangrango

Minggu dini hari, aku membangunkan kawan-kawan pada pukul 02.15 dini hari. Sebenarnya mereka juga sudah memasang alarm sejak pukul 02.00, tapi rasanya tak ada yang mendengarnya. Sedangkan aku masih terbawa suasana sore tadi, hingga membuatku lebih banyak terjaga, dan lalu menyalakan hp untuk sekedar memutar playlist yang menusuk jantung, dg lagu-lagu Dear God, Talking to the Moon, Sara, dan lagu-lagu busuk lainnya :p.
Begitu terbangun semua, tanpa keluar dr tenda kami pun mulai memasak air, nasi dan lauk untuk modal muncak.
Jadilah menu kami di Minggu dinihari, nasi liwet, tempe goreng, telur dadar dan teh manis hangat.

nyiapin sarapan di dalam tenda
Rencananya kami starting muncak pukul 3 atau setengah 4 paling lambat, ternyata jam 4 lebih kami baru selesai memasak dan makan pagi. Perjalanan ke puncak pun di mulai pukul 04.20 pagi, dengan membawa senter dan jas hujan yang paling penting. Kami bisa berjalan cukup cepat karena kosongan (baca: tanpa membawa tas besar dan barang2). Hanya saja yang cukup merepotkanku karena aq harus menenteng botol minuman, dan senterku adalah senter tangan, bukannya senter kepala, sehingga aku kesulitan jika harus melewati jalanan yg terjal dan licin, atau harus melompati pohon-pohon tumbang.
Jalur ke puncak Pangarango ternyata berbeda jauh dengan puncak Gede, jauh lebih sulit dan terjal. Sulit menemukan tanah dg permukaan relatif datar. Jam setengah 6 kami menemukan tempat yg relatif datar untuk melaksanakan sholat Subuh. Lalu perjalanan terus berlanjut.
Pukul setengah 7 kami pun mencapai puncak. Secara visual, puncak Pangrango tak seindah puncak Gede, ditutupi pohon-pohonan sehingga pemandangannya kurang lepas. Tapi dari sana kita bisa menatap puncak Gede dan kawahnya itu di bawah kita, indah :).

Simphoni pagi Mandalawangi

Mandalawangi hanya berjarak sekitar 10 menit dari puncak Pangrango. Padang edelweis yang tak selebar Surya Kencana, tapi dengan pohon pohon edelweis yang lebih indah. Tampak spesial dengan kecantikannya tersendiri. Kecantikan istimewa yang tak bisa dicapai dengan setangkai mawar merah. Bunga putih sederhana, tak wangi pula layaknya melati, tapi memiliki arti tersendiri.

edellweis, perwujudan sederhana yang cantik
coklat pagi mandalawangi


lembah asmara Mandalawangi, tempat ku buang "beban"ku

Grup dewa
Mandalawangi, ku titipkan cintaku


Turun Gunung
11 menit lewat dari jam 8 pagi, kami tinggalkan Mandalawangi, kembali menuju camp. Kembali terpikir hidup nyataku di Jakarta.
kembali menatap puncak Gede
Pukul 09.30 kami sampai lagi di Kandang Badak setelah sebelumnya 3 dari kami sempat tersesat, dan 2 diantaranya sempat mengijak pup orang di semak-semak, dan aku satu diantaranya :(. Dalam 2 kali kebersamaanku dengan Gede-Pangrango, 2 kali juga aku menginjak pup orang, astaghfirulloh.
Tak mau banyak membuang waktu, kami membagi tugas untuk memasak dan membereskan tenda. Dan mencuci perabot masih saja dengan setia ku lakukan.
Menu makan siang :
nasi liwet, oseng kacang panjang dan kol + tempe dadu, telur ceplok bikinan masing-masing, yah, kami berlomba membuat telur mata sapi terindah. Dan bagiku, telur mata sapi setengah matengku adalah yang paling sempurna, begitu juga pikiran 3 orang lainnya ku rasa :p.


Sebelum jam 1 siang kami pun telah selesai bersiap-siap turun gunung dan tentunya sudah menjama' sholat Dhuhur dan Ashar kami.
Turun gunung dengan kecepatan cukup menggila, bahkan Febri yang saat naik jadi yg paling lambat malah berbalik jadi yang tercepat saat turun. Melesat bagai motor matic di jalan datar dan turunan, lalu kembali lesu ditanjakan :p. Sayangnya, kecepatan yg berlebihan itu membuat lutut kiriku cedera ringan karena terhajar beban dari tiap turunan dan tonjolan batu yang ku injak serasa memberi sensasi tersendiri bagi betis dan lututku, krenyeng krenyeng.

Air Terjun Cibeureum

Jam setengah 3 kami sudah sampai Penyangcangan.
Karena dirasa waktunya masih cukup, kami pun memutuskan untuk mampir ke air terjun Cibeureum. Yang terlewat tahun lalu. Hanya butuh waktu 15 menit dari Penyangcangan ke lokasi air terjun yang ramai  oleh pasangan muda-mudi berbau wangi itu. 



Cibodas, an End Point

Setelah mampir di Air Terjun, dan kembali lagi jam 15.15, dan melewati jalur wisata yang macet oleh pasangan muda-mudi berbau wangi, yang asik bergandengan tangan, 
macet gan, ga tahan liat tangan-tangan itu
pada pukul 15.54 sampailah kami di Pos Cibodas. Segera lapor ke petugas, membuang sampah yang seharusnya di data terlebih dahulu sebagaimana di data sebelum berangkat.
Sejenak memanjakan punggung di rerumputan sambil meneguk Nu Gr**n Tea dingin, kami pun segera kembali melanjutkan perjalanan panjang ke jakarta. Tapi sebelumnya, pose wajib dulu :


TAP, pose wajib!!!
ngangkot turun @3rb, lalu lanjut bus ke Kampung Rambutan @15rb lagi.

Bebek Ireng Suroboyo Trans TV, penutup yang manis 
What? manis?
pedasnya segila itu...
Yap, sesampai di Kp Rambutan pukul 19.40, sesuai rencana saat di bus tadi, kami segera meluncur ke Mampang dengan sedan burung biru. Kami ke warung bebek ireng Cak Baz di dekat studio Trans TV Jakarta. Karena ceritaku soal pedesnya sambel disana lah yang menggoda mereka, aku dulu hanya bertahan dengan satu colekan saja, dan lalu serasa terbakar mulutku.
Kali ini aku bisa melahap sampai beberapa kali colekan, keren... Tunggu dulu, tapi setelahnya mulutku serasa super terbakar, hingga nasi pun terasa begitu panas dan pedasnya, teh botol dan es teller langsung ke sambar tanpa ampun.
pedas yang manis
penutup perjalanan yang manis, tapi PEDAS GAN!!!

Comments

  1. Mantap boi....
    ijin share di facebook yak...

    ReplyDelete
  2. thanks ya Kai, bagi putu putu kameramu dung. Buat tambahan.


    eh, kisah-kisah asmaranya perlu di publish ga nih? Siapkah kalian :D

    ReplyDelete
  3. Salam TAP slalu...

    Pembusukan, gue djadikan tumbal arjuna g butuh cinta...

    "mandalawangi, ku titipkn cintaku" ... Maksudmu TAP mu?Salam TAP slalu...

    Pembusukan, gue djadikan tumbal arjuna g butuh cinta...

    "mandalawangi, ku titipkn cintaku" ... Maksudmu TAP mu?

    ReplyDelete
  4. Hahaha arjuna yg slalu patah hati kalian,,,,, tapi memang pengalaman adalah yg utama hahahaha,,,

    Wawan, febri, takay, habiby dengan do'a setulus jiwa semoga jodoh kalian tuk istri adalah jodoh dunia akhirat,,,, aq sdh duluan insyaAllah,,,,

    Salqm TAP!!!!
    Mashari

    ReplyDelete

Post a Comment