Aku dan Puisi


Sore-sore gini, sambil menikmati teh tong djie hangat aku mau meracau soal kenanganku dengan puisi. Kenapa puisi? 
Karena puisi itu punya nilai seni tersendiri, aku suka membacanya, aku suka membuatnya, meski mungkin tak seorang pun suka membaca puisiku -.-". 

Tapi meski ia sudah ku cintai sedemikian rupa, ia masih saja meninggalkan kenangan buruk. Yaitu pelajaran Bahasa Indonesia yg cukup rutin menduduki angka terendah di raporku tiap akhir Cawu/Semester ketika dulu masih di bangku sekolahan.

Bismillah, ku ceritakan urut saja dari masa ke masa, baik masa keemasanku maupun tenggelamku, beuh!!


1. di bangku Sekolah Dasar


Kenangan paling berkesan dengan puisi semasa SD adalah aku menjadi juara 3 Lomba Membaca Puisi tingkat Desa saat perayaan 17-an, tingkat desa karena di desaku ada 2 SD, dan saat lomba 17-an kami dipertemukan dalam 1 even perlombaan. Hadiah berupa 2 buah buku tulis murahan yang dibalut bungkus kado coklat itulah hadiah termahal yang bisa ku capai dari lomba 17-an di sepanjang karierku selama SD. 

Bagaimana dengan perlombaan lainnya?

- makan kerupuk?,  "jangankan di lombakan, dikasih gratisan saja rasanya sayang jika harus memasukkan benda tak bergizi itu ke perutku"

- menggigit koin yg dilumuri oli bekas?, "sungguh, itu konyol, aku tidak mau orang menertawakanku karena ...
sebelum bersentuhan dengan oli saja gigiku sudah hitam, begitulah kondisi gigiku ketika itu, keropos dan hitam, semoga saja tak ada satupun foto masa itu yang tersisa"

- balap karung? 
- memasukkan pinsil ke botol dengan pantatmu?
- berlari dengan menggigit sendok yg ada kelerengnya?

" 3 lomba terakhir dan lomba-lomba lainnya yg berhubungan dengan fisik, hahaha. 
Aku mendaftarnya, tapi tepat sebelum lomba di mulia aku sudah menyembunyikan diri di semak-semak pinggir kolam ikan di belakang sekolahku. Aku tak mau membuang-buang tenagaku yang sudah minim untuk berlomba dengan siswa-siswa SD yg sudah berkumis dan berbulu kaki, sama sekali tak ada harapan menang, begitu pikirku. 
Karena begitulah nyatanya, dari 2 SD di desaku, SDN 2 tempatku bersekolah diisi murid** SD sbgmn umumnya, hanya bbrp saja yg sudah berumur, contohnya saat aku SMA ternyata masih jg ada anak yg dulunya kakak kelasku akhirnya lulus SD. Sedangkan murid** SDN 1 hampir 90% adalah pria dan gadis berusia diatas 17 tahun, hah yang benar saja aku harus ditandingkan dengan mereka.
Bahkan ketika sekelompok temanku dan para guru menemukanku, aku masih bertahan sekuat tenaga untuk tak jadi ikut lomba-lomba itu. Dan mereka memakluminya, membiarkanku kabur dari lomba fisik itu, yeah, INILAH KEMENANGAN!!!"

Bakatku dari dulu sepertinya memang "oceh-mengoceh", meski kata ibuku, saat masih bayi, sempet telat bisa bicara, dan sampai kelas 2 SD masih jadi olok-olokan karena tak fasih melafazkan "R".
Buktinya, aku mencetak sejarah sebagai murid pertama di SDN Bejilor II yang membaca Pembukaan UUD '45 dengan benar, begitulah kata Kepala Sekolahku yang menjadi Pembina Upacara Bendera Senin kala itu dalam pidatonya. "Nilai 8,5 buat petugas Pembaca Pembukaan UUD '45!!!"

Latar belakangnya, dari jaman beliau masuk sbg. Kepala Sekolah, setiap pembacaan Pembukaan UUD '45 selalu melafazkan kalimat pertamanya, "Bahwa (koma) sesungguhnya"(heran juga, salah kok bisa jd tradisi -.-") dan aku membacanya sesuai yang tertulis, tanpa koma.
Nama desaku : Beji Lor/ North single duck, mau tau ceritanya? Asal Usul nama Desaku

2. K3t1k4 eSeMPe
Saat di kelas 3 awal-awal semester, aku jadi "musuh kelas" karena membuat guru bahasa Indonesia tidak mau mengajar kelasku selama 2 minggu, atau jangan-jangan mereka menganggapku pahlawan ya? :D

Sebabnya?

Aku MENOLAK saat sang guru menyuruhku MEMBACA salah satu puisi di buku wajib kami DI DEPAN KELAS, entah kenapa aku terlalu tenggelam ketika SMP. Meski langganan juara kelas, bicara di depan kelas adalah hal yg menakutkan bagiku, jauh lebih menakutkan dari kakak-kakak kelas yg gemar merampas uang saku adik kelasnya, meski aku anak berbadan kecil tp disegani oleh preman-preman sekolahku. 
Kadang bersyukur juga bertetangga dg preman-preman desa, aman di sekolah meski aku kadang bahkan sering memaki murid lain seenaknya,... dan di saat ujian praktek di akhir sekolah pun aku lolos dari kewajiban "menghafal Surat surat pendek Al Quran", karena desaku terkenal dengan desa preman, jadi guru pun tak menyimakku, dan tak tau saat aku membaca awal surat ini dan mengakhirinya dengan surat yg lain, hanya teman-termanku yg anak pesantren yg cekikikan mendengar hafalanku.

Melanjutkan soal guruku yg ngambek tadi, beliau bilang tak akan mengajar sampai aku menghadap ke kantor guru dan berjanji akan maju di depan kelas untuk membaca puisi.
Dan hal yang diharapkan itu tak pernah terjadi, yang ada anak sekelas lah yang mendatangi kantor guru, ya semuanya, kecuali aku, dan mereka berjanji atas namaku, seenaknya aja :nohope
Akhirnya dengan menurunkan sedikit egonya, beliau bersedia mengajar lagi.

YEAH, AKU MENANG!!!

tunggu dulu, 
Karena setelah aku akhirnya maju dan membaca puisi itu sekenanya, berbeda dengan saat aku menang lomba 17-an ketika SD tentunya.
Ibu guru yang tetap terlihat cantik di usianya yg sudah tua itu memberi petuah bijak. Beliau menyesalkan perubahanku, kenapa aku jadi berani mangkir. 
Padahal setahun lalu, guru yang kebetulan kala itu menjadi wali kelasku berhasil membuatku menjadi artis di sekolah.
Namaku mendadak menjadi bahan perbincangan, karena..... hufh, berat mengatakannnya.. :(

"Aku sudah berangkat sekolah pada hari ketiga pasca sunat/khitan, aku disunat hari sabtu malam, dan sudah berangkat sekolah pada Seninnya, dengan cara berjalan yg agak mengangkang tentunya."

Bagi beliau itu hebat, 
karena dalam kondisi cedera pasca operasi aku masih bersemangat ke sekolah, tanpa mau terlewat sehari pun.

Tapi apa itu juga yang di dengar teman-temanku dan murid-murid yang tak mengenalku?
Ku rasa bukan, yang mereka dengar. "Sudah SMP baru disunat"

ah mereka sama sekali tak tau kesulitan dokter yg menyunatku, karena sulitnya memasang perban di bidang yg terlalu kecil. Bagaimana coba kalo sewaktu masih SD dulu?

3. Masa Muda, Masa SMA


Akhirnyaaa, puisiku terpilih untuk dibacakan guru dihadapan warga sekelas *.*

Padahal aku hanya mericau soal sungai kecil di depan sekolah kami, yang mengalir di pinggir Jalan Kartini Salatiga. Aku memaki dengan sumpah serapah sampah-sampah yang terbawa arus sungai itu. Aku marah pada muda-mudi berpakaian rapi dan wangi diatasnya, yang berkata-kata manis pada pasangannya, tapi seenaknya membuang plastik esnya ke sungai di bawahnya. Pasangan muda di mabuk asmara, tak sadar, tak mendengar tangis air dibawahnya. Dasar k*parat!!!! l*knat!!!

Tapi TAK ADA YANG SEMPURNA di dunia ini, karena dengan puisi seindah itu, masih saja ada hal yang menjadi bahan tertawaan.
Apa yang lucu? bukan di kata-kata di dalam puisiku, bukan pula cara guruku membacanya.
Yang konyol adalah akunya, sebelum akhirnya membuat puisi itu.
Kejadiannya, tadi pagi aku kesiangan masuk kelas, (derita anak desa yang bahkan rumahnya tak nampak di google earth). 
Saat aku masuk, dengan sigap mataku menangkap ada bangku kosong di barisan paling depan, pojok dekat pintu masuk.  Aku pun masuk dengan cepat dan "mengendap-endap" karena ku lihat guru sedang fokus dengan buku di depannya.


Apesnya, ternyata di meja itu hanya ada 1 kursi yang sudah ditempati seorang wanita, disebelahnya benar-benar kosong, tak ada kursinya. Dan aku sadar tepat saat dalam posisi duduk dengan kecepatan tinggi karena berusaha menghindari pergokan guru tadi.
"BRAAAKKKK!!", kakiku sudah di atas meja, dan kepalaku di lantai setelah mampir di pinggiran meja belakangku.
Bukan hanya ketahuan karena telat, kelas pun jadi "hidup" oleh tingkahku.


Makanya setelah puisiku dibacakan oleh guru, yang sebenarnya beliau pilih tanpa melihat nama pembuatnya, --> jadi bukan bermaksud menghiburku atas kejadian pagi tadi yaah.
Tapi bagi temanku itu adalah karya seni kebetulan, "kebetulan saja kepalaku habis terbentur meja".

4. Masa setelah sekolah

Singkat saja, aku pernah berteman dengan seorang blogger yang gemar membuat puisi cinta, semua postingan di blognya berupa puisi cinta. Aku bilang puisinya bagus-bagus.


Dan dengan penuh kesadaran pula, sebenarnya aku akui tak mengerti satu pun maksud puisinya, bahasa cinta terlalu berat untuk dipahami oleh fakir asmara macam aku ini.




Begitulah ceritaku dengan puisi, kalo kamu?

NB : ternyata semua yang terlibat dalam ceritaku adalah wanita, Kepala Sekolahku waktu SD itu adalah seorang wanita, guru Bhs. Indonesia waktu SMP yang "ngambek" juga wanita, guru Bhs. Indonesia SMA yg membacakan puisiku jg wanita, begitupun temanku yg blogger itu.Mungkin, wanita lebih bisa memahami puisi. Hanya sedikit pria terpilih yang bisa, diantara yg cukup ku kagumi, diriku sendiri :p

Comments

  1. hahaha, cemen juga ternyata kamu dulu bro.

    lomba 17 Agustusan aja kabur :p

    ReplyDelete
  2. kowe kok iso entuk gambar2 lucu..kon di??

    ReplyDelete
  3. hahahahaha..... jek kelingan banget aku pas kuwi nji...

    koe emang JOSSS!!
    betewe clotehanku sak durunge kok ilang.. nulis maning

    ReplyDelete
  4. @Widji : apane sing JOSS?

    @habibi : wes mbok copy kan?

    ReplyDelete

Post a Comment