Menunggu Jodoh



Ya Allah, Yang Menguasai Segala Cinta dan Kasih Sayang, 
Ya Rahman Ya Rahim
Anugerahkan kepadaku, seseorang yang menenteramkan hati
Yang mencintai-Mu dengan segenap hati
Yang menjaga diri, hati dan tingkah lakunya demi Ridho-Mu
Pantaskan aku untuknya, dan bahagiakan ia denganku
Cukupkan ia bagiku, dan satukan hati, visi dan upaya kami
Jadikan kami sebagai sebaik-baik sahabat
Pertemukan kami dengan cara termudah
dengan jalan terindah menurut kehendak-Mu, Ya Rabb
Satukan cinta kami dalam kepasrahan diri pada-Mu
....
sepenggal doa yang senantiasa ku panjatkan di kala menantimu


Maret lalu umurku terhitung sudah 26 tahun, sudah lewat dari seperempat abad. Dan persoalan perjodohan ini nampaknya masih saja hangat bagi sebagian besar orang untuk dipertanyakan. Untungnya orang-orang yang pertama ku temui di pagi hari itu justru memberi angin segar. Adalah mbak Vivi dan Mbak Silvy, mereka membuat perbandingan dengan kisah mereka masing-masing. 
Pertama giliran mbak Vivi, "kamu sekarang kan 26, aku dulu nikah juga umur 26, tapi si Mas udah 27 tahun, jadi kamu masih ada 1 tahun lagi kalau mau kayak aku". 
"Kalo mau kayak aku, malah masih lebih lama lagi Nji, haha...", mbak Silvy menyahut. 
Aku pun membalasnya dengan ikut tertawa, serasa bara tersiram air es tiba-tiba, nyess, tapi ada yang sedikit mengganjal. Meski hanya rekaanku sendiri, semasa masih kuliah dulu, aku menuliskan, target menikahku adalah di usia 26 tahun, terselip rapi di antara target-target lain yang sama juga aku reka.

Lalu, entah bagaimana harus bersyukur, karena terbukti tak ada doa yang tak Ia dengar. Dan setiap ucapan, bahkan kelebatan pikiran kita adalah doa. Hingga akhirnya, di penghujung tahun ini, Ia memberikan jalan-Nya mempertemukanku dengan seseorang. Saat usiaku bisa dibilang masih dalam tahap 26 tahun, sesuai cita-cita. Pun dengan cara yang mudah, dan jalanannya pun indah, bermula dari hal-hal yang aku cintai, alam, kawan (sahabat), dan Islam.

Lupakan sejenak soal luapan kegembiraanku, ada sedikit cerita tentang jalan (panjang) yang ku tempuh. Bukan sebuah drama Korea yang akan membuat ketagihan untuk menyimaknya tentu saja, bukan pula cerita penuh wejangan, karena siapa lah saya....


Cerita pertama, tentang Cinta,


Jika terlalu pelik, bukan cinta namanya. Cinta seharusnya sederhana, ia memudahkan. 
Cinta itu kerja nyata, dengan proses yang tidak singkat. Bukan tentang masa-masa yang telah kita lalui, tapi yang saat ini kita semai, dan lebih penting lagi, bagaimana kita memupuknya bersama nanti. 
Seringkali, kita menyempitkan pengertian cinta menjadi semacam getaran, rasa deg-degan dan semacamnya. Rasa itu memang mengasyikkan, tapi bukan cinta namanya, Pak Prie GS bilang.
Ah, aku lupa, bahkan hingga detik ini pun, belum pernah ku katakan, "aku mencintaimu"..., semoga ia pun tahu, cinta itu biasa saja, seperti lirik lagu Efek Rumah Kaca. 

Lalu, menunggu
Kegiatan yang paling membosankan adalah menunggu, waktu yang paling tidak mengenakkan adalah waktu menunggu. Tapi ada satu yang ingin saya tanyakan, saat kita menunggu, artinya ada pihak lain yang ditunggu. Bagaimana jika keduanya sama-sama merasa sedang menunggu? Tanpa ada yang merasa ditunggu... 
hanya sebuah pertanyaan,

Tapi, kita tidak sedang berlomba, ini bukan ajang balapan, tidak usah gugup dan buru-buru.

Cerita selanjutnya adalah Kesiapan,

Selama ini, banyak yang bilang padaku : "segerakan, kamu sudah siap segalanya, kurang apa coba?"..

hanya dengan memandang pekerjaan dan mungkin, sedikit jenggot di daguku. 
Kesiapan, berasal dari kata dasar siap, bagi yang kuat iman, tapi bagiku, bukan itu, tapi siapa, keSIAPAn. Dengan siapa? itu dulu yang ku pertimbangkan, karena aku membutuhkan seorang partner dalam membangun kesiapan itu, navigator di dalam mobil kehidupan yang siap memberikan masukan ketika di persimpangan, karena sadar, aku bukan sopir yang tau segalanya, bukan kapten kapal yang selalu siap mengambil keputusan tepat dan cepat. Untuk itu, aku butuh bersama navigator yang siap, bukan hanya untuk menumpang, tapi juga siap memberikan masukan.

Lalu soal Kriteria,

"Turunkan sedikit lah bro kriteriamu, biar ngga kelamaan", teman-temanku bilang.
"Buat anak kok coba-coba", begitu iklan membantahnya....
Ada hal-hal yang bisa dikompromikan, tapi ada hal-hal prinsip yang jangan pernah mencoba menggoyahkannya, karena ini bukan perkara sederhana, bukan sekedar urusan rasa. 

Terakhir, Pacaran
bukan soal perdebatan "boleh ngga sih pacaran sebelum nikah?", itu pertanyaan langganan anak rohis SMA. 
Bukan, sekali lagi bukan soal itu, tapi proses saling mengenal. Aku ingat nasehat seorang teman saya sebelum dia menikah beberapa bulan yang lalu, "Nji, percaya deh, di saat kamu akan memutuskan menikah dengan seseorang, pasti ada aja sifat atau apapun tentang dia yang tak terduga, seberapa dekat pun hubungan kalian sebelumnya". Itu nasehat teman untukku...
Proses mengenal bukanlah proses 1 atau 2 tahun, bahkan 10 tahun pacaran, tapi selamanya, sampai nyawa memisahkan.

Untukmu kawan, yang masih dalam masa penantian,
Hidup adalah sebuah perjalanan, banyak persimpangan kita lalui, ada saat-saat lelah juga akan kita rasakan. Setiap diri meniti perjalanan takdirnya masing-masing, ada yang lempeng layaknya jalan tol, ada yang berkelok-kelok, banyak persimpangan sampai berlubang-lubang, di perbedaan itulah terdapat seni menikmatinya.

Sekali lagi, kita tidak sedang balapan, mari nikmati perjalanan kita. Serahkan pada Yang Maha Merencanakan, "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?" (QS. Al-Insaan: 1)

Mohon doa teman-teman sekalian...


N.I.A. & K.P.L.
SEGERA

Comments