Cerita Sore Kota Jakarta


Ketika Isya' tiba....
Puasa memasuki setengah perjalanan, purnama pun telah dengan ramah menyapa. Hari-hari yang terlewati saat hari kerja benar-benar serasa sama, berulang-ulang dari Senin sampai Senin berikutnya. Adzan Isya' telah berkumandang, aku pun mulai bergegas hendak turun ke masjid. Dan ketika itu pula, OB kantor kami, Pak Wuryanto namanya, masih asik mengepel lantai, wangi sabun pel-nya sudah akrab dihidungku. Satu hari, sedikit iseng aku tanyakan, "Kenapa harus tiap hari dipel Pak? Kan bisa 2 hari sekali gitu?",... "waduh Mas, rasanya belum mantep kalo belum ngepel dulu sebelum pulang", balasnya enteng, setengah tertawa, sambil tangannya terus sibuk memainkan tongkat pelnya ke depan dan belakang, aroma wanginya kembali membahana.
Sementara di sisi lain ruangan, seorang teman sedang membereskan sisa pekerjaannya dan bergegas mematikan komputer setelah ku beri aba-aba telah adzan. Aku pun berjalan agak pelan, sambil menungguinya menyusul.
Cekrek ...cekrek
Suara staples yang beradu dengan tumpukan kertas ternyata masih belum berhenti dari ruang sekretaris. Direktur kami telah pulang sebelum Maghrib tiba, begitulah rutinitas beliau selama puasa, nyaris tak ada pulang malam, tapi sekretarisnya masih saja di kantor. Tak seperti banyak orang menduga, ketika sekretaris pulang lebih lama, sering ku dengar, "menunggu bos pulang". Sesungguhnya, yang ku lihat selama ini, bukanlah kegiatan "menunggu". Eka namanya, 2 tahun lebih tua dariku, meski masih tampak seumuran atau malah terlihat lebih muda. Ia tak pulang sore demi menunggu buka, tidak pula karena di rumah tak ada yang menunggu. Ia malah masih tergolong pengantin baru, dengan umur pernikahan baru secawu, yang seharusnya urgensi pulang cepatnya begitu menggebu. Apalagi dengan tanggung-jawabnya penuhnya sebagai istri untuk melayani suami dengan beragam pekerjaan rumahnya, seperti yang pernah ia katakan, saat aku, lagi-lagi dengan iseng menyinggung soal mendisposisikan tugas mencuci perabot masak ke suami.
Tumpukan-tumpukan surat masih teronggok di mejanya, baru tiba sore menjelang pulang, ada surat masuk yang baru diterima, bersanding dengan konsep-konsep surat yang akan ditanda-tangani direktur. Aku terus berjalan, menuju lift, dan ia masih melanjutkan pekerjaannya...
_________________________________________________________________________________
Jelang Buka Puasa.....
Di sudut-sudut lain kota Jakarta,
Di tengah tol arah Serpong. Adzan maghrib telah hampir menjelang, mobil baru saja bisa lepas dari antri panjang, rumah masih tak terbayang. Seorang ibu mengambil tas jinjingnya, mengeluarkan makanan kecil dan minuman yang ia siapkan untuk berbuka.
Di dalam bus kota yang penat, penuh sesak, dengan aroma yang tak terbayangkan. Seorang pemuda merogoh-rogoh kantong kecil backpack yang ia kenakan di dada, mengaduk-aduk isi tas, mencari-cari sesuatu. "Ah ketemu", senyumnya mengembang, kecil, tak sepasang mata disekitarnya menyadari gerakan bibirnya. Sebungkus permen ia genggam mantap, siap dikupas dan dijadikan syarat untuk menyegerakan buka, manis pula rasanya. Hanya itu yang ia bawa, setidaknya sudah cukup sampai nanti tiba di rumah kontrakan, dua puluh menit sebelum Isya'. Karena ia lupa memasukkan aqua gelas di meja kerjanya, ah sudahlah, yang penting bisa mandi sebelum Maghrib, Isya, dan Tarawih, gumamnya.
Di bawah patung Tugu Pancoran, ditengah deru mesin kendaraan yang beradu kencang, asap knalpot yang kejam, nafsu-nafsu manusia nampaknya malah makin liar saat puasa. Emosi, ketidaksabaran dan hasrat segera berkumpul dengan keluarga membuat jalanan kota ini makin tak manusiawi. Seorang ayah sedang membetulkan masker wajahnya, menunggu lampu hijau menyala. Sudah ia estimasi baik-baik masjid mana yang akan ia tuju sekedar untuk membatalkan puasa dan sholat Maghrib berjamaah. Bukannya tak rindu pada istri dan anak, tapi ia hanya tak mau menambahkan akumulasi emosi di jalanan ibukota yang tetap ia cinta.
sumber : klik

Di dalam gerbong kereta ...
listrik yang melaju mantap ke Depok, berdiri berjejal dengan penumpang lainnya, seorang ayah yang lain nampak mencuri waktu mencium bau keringatnya, lepas berlarian mengejar kereta, "alhamdulillah, masih tak terlalu mengganggu". Headset terpasang di kedua telinganya, lantunan murottal yang selalu menemani waktu senggangnya, untuk menjaga hafalan. Sedikit ia lirik jam tangan, melepas satu earphone dari telinganya, ia fokuskan untuk menyambut kumandang adzan Maghrib. Tangannya pun sudah menjinjing sebotol minuman dingin yang ia beli di minimarket kantor, ditemani sebungkus snack yang tidak mengenyangkan, menyisakan rongga perut untuk makan bersama keluarga di rumah.
_________________________________________________________________________________Di Pinggiran Kota Jakarta,
Seorang ayah sedang menutup gerbang rumah, menuntun motor, sementara putrinya berlarian memasuki rumah, tangannya menggenggam bungkusan kolak untuk pembuka puasa.
Seorang ibu yang sudah sibuk menyiapkan makanan untuk putranya sedang menunggu dengan lesu. Sms yang sama ia kirimkan tiap harinya di pukul setengah enam, "adik sudah sampai mana?", nampaknya memang tak banyak ia berharap untuk berbuka bersama anaknya tercinta. Hanya disebagian hari Sabtu atau Minggu, jika anaknya taka ada undangan buka bersama dengan teman-temannya.
Seorang balita merengek menolak untuk dimandikan oleh ibunya, dengan sabar si ibu membujuknya. Si anak tetap bertahan dengan kesombongannya, hanya mau mandi bareng Ayah, sambil bertahan kokoh di meja makan dengan kaosnya yang masih penuh kotoran dan basah berpeluh keringat. Dua mangkuk sup buah di depannya seolah ia jaga dengan sepenuh hati, kedua tangannya menutup rapat, "satu buat adik, yang satu buat Ayah", dengan mantap ia bilang.
sumber : klik

_________________________________________________________________________________
Sore hari di Ibukota, di bulan Ramadhan, memiliki cerita tersendiri bagi tiap jiwa. Masjid kantor yang ramai oleh jamaah Isya dan Tarawih, OB dan sekretaris yang tetap pulang malam, jalanan yang dipenuhi akumulasi emosi, anak, istri, suami dan ibu yang menunggu dengan rindu di rumah.
Puasa, entah bagi yang menjalankannya maupun yang tidak, memberikan suasana yang berbeda dalam kesehariannya. Stamina yang menurun, kantuk yang senantiasa menghantui, dan sulitnya mencari makan siang serta terbatasnya waktu demi menjaga toleransi bagi yang tidak berpuasa, mau tak mau memang mengurangi kualitas kerja. Lebih-lebih bagi yang tidak terbiasa dengan jadwal bangun dini hari, sepertiku juga. Belum lagi ajakan dari Tuhan untuk lebih fokus pada ibadah, hanya sebulan dari dua belas bulan, untuk mendekatkan diri pada-Nya.
Mungkin hal itulah yang disadari oleh MenPAN, hingga mengeluarkan SE Nomor 7 th 2013 tentang pengaturan jam kerja khusus bulan puasa bagi PNS, perubahan jam kerja tersebut yakni pada hari Senin hingga Kamis jam kerja mulai pukul 08.00 - 15.00. Dimana jam istirahat mulai pukul 12.00 - 12.30. Sedangkan untuk jam kerja pada hari Jumat, mulai pukul 08.00 - 15.30 dengan jam istirahat mulai pukul 11.30 - 12.30.
Tapi cukup berbeda di Kementerian Keuangan, jam kerja nyaris tak berubah, dari pukul 07.30 - 16.30 (terpotong 30 menit di sore hari), tapi dengan pemotongan waktu istirahat yang tak masuk akal, pukul 12.15 hingga 12.30, 15 menit untuk istirahat. "Bagaimana dengan yang tak beragama Islam?" nyari makan tambah susah loh, penjual makanan terbatas, dan mereka tidak sedang mencari pahala dengan berlapar-lapar ria itu. Jika dilihat realita, 15 menit, hanya cukup untuk naik dan turun lift. "Yah, kan ngga sekaku itu aturannya kali", Wah, sayang sekali, kita masih memelihara budaya, "Aturan dibuat untuk dilanggar", sayang, kita memelihara budaya buruk.
Jika saya tidak salah ingat, pada momen Isra' Mi'raj, awalnya Allah memerintahkan sholat wajib bagi umat Muhammad adalah 50 (LIMA PULUH) kali dalam SEHARI, sungguh keren nampaknya, namun akhirnya Nabi Muhammad melakukan "tawar menawar" hingga akhirnya menjadi 5 (LIMA) kali SEHARI, demi apa? Agar umatnya sanggup dan patuh menjalankannya. (diluar perdebatan soal hadist tsb., yang di luar kemampuan saya untuk membahasnya).
Yang jelas, sudah seharusnya aturan dibuat untuk ditegakkan, bukan untuk gagah-gagahan.
Maka, aturan harus membumi, memanusiakan manusia, dan memungkinkan untuk dijalankan.
Mungkin kisah akan sedikit berbeda ketika ....
Anak yang malas mandi akan sudah segar dengan baju bersihnya, siap mengikuti Ayahnya ke masjid. Si ibu tak akan lesu terus menunggu putranya. Meski, mungkin masjid kantor tak akan ramai saat Isya dan Tarawih. Yang tak berpuasa tak harus lama-lama menahan rasa lapar. Pekerjaan? PNS bukanlah yang serba buruk layaknya yang dibayangkan, mereka adalah orang-orang yang bertanggung-jawab pada pekerjaan, sedikit lebih pendeknya waktu bekerja tak akan mengganggu saya rasa. Karena ketika masih ada tanggung-jawab pekerjaan, tak peduli jam berapa, tentu mereka siap. Teman-teman ini bukanlah anak-anak sekolah lagi, yang akan langsung berhamburan keluar ketika bel berbunyi, dan dengan memaksa menjadikan tugas kelas sebagai PR. Mereka adalah manusia-manusia dewasa, dengan tanggung-jawab penuh atas pekerjaannya, bukan soal lamanya di belakang meja.

Pada akhirnya, penguasa mungkin memiliki pertimbangan yang lebih adil, untuk kesempatan berikutnya....
sumber : klik
_________________________________________________________________________________
Tulisan ini campuran antara kisah nyata, pemikiran, khayalan, dan sedikit uneg-uneg pribadi melihat nasib teman-teman, khususnya yang sudah berkeluarga, yang ingin meningkatkan kualitas ibadahnya, dan semua teman yang kesulitan mencari makan siang.

Comments

  1. @habiby : zzz..z.z..zzzz

    @indah : kalo aku sih jamaah tetap buka dan tarawih di kantor Ndah (gratis buka, dan tarawihnya cepet :p), hahaha... Cuman kasian kan yang udah keluarga, rumahnya jauh dari kantor.

    ReplyDelete

Post a Comment