Trip Pantai Ujung Genteng & Air Terjun Cikaso


Berawal dari sahut menyahut soal rencana trip di hari libur panjang penghujung 2012 via twitter, gtalk, dan berlanjut pada sebuah pertemuan tak sengaja ba'da Dzuhur di depan masjid Sholahudin KPDJP, antara Aulia Rahimi (Himi), Olan, Handono, dan aku, akhirnya jadilah sebuah rencana trip ke entah kemana pun, yang penting bersama, tsah. Singkat cerita, setelah perdebatan sengit antara Arum Jeram, Sawarna dan Krakatau, jadilah keputusan ke Sawarna. Dan berawal dari pertimbangan keperluan tambahan sopir, jadilah rencana itu melenceng ke Ujung Genteng, dan entah disadari atau tidak, sebenarnya ide ke UG saat itu berawal dariku, karena sebagian dari Sukabumi ini sudah masuk rencanaku sejak 2009 lalu, tapi belum kesampaian, yang menjadikanku merasa bersalah pada teman-teman ketika pada akhirnya....., ikuti saja perjalanan kami :)

Peserta

Seminggu sebelum jalan, jadilah rencana fix, dengan peserta 16 orang, 4 orang diantaranya sbg sopir. Tapi, karena ada yang kena giliran masuk, berkurang lagi lah jumlah kami, 1 orang sopir mengundurkan diri,  yaitu teman bang Oz, disusul 2 orang pasangan suami-istri, Dimas dan Indah. Perlahan panik, mencari peserta tambahan, dan yang lebih penting "sopir". Alhamdulillah, akhirnya diputuskan kita menyewa 1 sopir, dan peserta bertambah dengan Febri dan adiknya.
Jadilah Peserta fix, 15 orang + 1 sopir, dengan 2 mobil :
Panitia sekaligus orang tua asuh : Angga & Himi
Peserta : Handono & Gania, Harestya & Nurul, Coco, Olan, Dedy, Khittoh,Wida, Bang Oz (Franz Kurnia), Febri & Indri, dan saya sendiri.
Seorang sopir sewaan : Mas Gun, yang notabene beberapa kali menjadi sopir rombongan band kampungan macam Ungu hingga band nasional sekelas D'Bagindaz, yang kisah vokalisnya mengisi sebagian besar perjalanan kami, diikuti dengan pertunjukan fotonya bersama Mas Gun yang tersimpan di hp, luar biasa.

Perjalanan

Sesuai rencana, kami berangkat bersama pada Sabtu malam, pukul 23.00, meeting point di masjid Sholahudin Kantor Pusat Dirjen Pajak. Kami sengaja berangkat tengah malam agar terhindar dari macet, dan dapat menikmati sunrise di pantai. Setelah semua peserta berkumpul, menjejalkan bekal makanan dan beraneka barang bawaan ke dalam mobil, pukul setengah 12 malam kami pun siap berangkat.

kumpul sblm berangkat. (dok.: Bang Oz)
Perjalanan berlangsung lancar dan cepat, bahkan jauh lebih cepat dari perkiraan. Sebelum Subuh, Minggu, 30 Desember 2012, kami sudah mendekati kawasan Pelabuhan Ratu, yang merupakan bagian dari wilayaha Kab. Sukabumi, Jawa Barat. Karena masih terlalu pagi, kami pun beristirahat dahulu di masjid, sekaligus menunggu adzan Subuh. Selepas Subuh, kami melanjutkan perjalanan ke pantai, menikmati sunrise di pantai Karang Hawu. Sebuah pantai yang di dominasi karang-karang, ada yang menjulang, beberapa berlubang di bagian bawah dan membentuk seperti goa, serta ada juga membentuk beberapa genangan genangan air. Pemandangan yang cukup indah, menatap pagi mentari yang merangkap naik, dengan diiringi suara debur ombak yang menghantam karang, serta terpaan angin sepoi yang masih membawa sejuk pagi hari.

membidik mentari pagi

ombak yang menembus jajaran karang

Subuh hari yang penuh berkah, indah

melalui jembatan bambu menuju karang yang dibelah air laut

ummi abi Ibrahim, pacaran setelah 2 tahun pernikahan, satu lagi yang indah

bukan saya, titik.
Oh iya, sebagai tambahan, dari cerita seorang pengunjung lain. Daya tarik pantai ini adalah adanya Mata Air Sumur Tujuh, yaitu tujuh buah genangan air di karang. Mitosnya, jika mandi di 7 genangan itu bakalan awet muda, hmmmm, perhatian, ini sangat tidak dianjurkan bagi Anda yang tidak PD dengan penampilan, karena nanti bisa awet jeleknya, satu lagi mungkin bagi yang miskin, nanti bisa awet miskinnya. *piss*.

satu dari 7 genangan yang katanya berkhasiat menjadikan awet muda
Selain itu, ada juga cerita mistis pantai ini, konon di pantai ini terdapat singgasana Nyi Roro Kidul (sumber : Dinas Pariwisita). 
kenyataan, terkadang tak seperti yang terlihat secara kasat mata
Bagi yang suka jajan barang klenik, ada penjaja batu ...
akik pula. Sepintas saya baca, ada yang menyatakan berkhasiat menambah wibawa, dsb. Wah hebat pun, kalo di kantor bisa-bisa direktur pun kalah wibawa nantinya :p, dan malah takut nantinya teman-teman tak lagi bisa membercandai status saya. (belum pakai batu-batuan saja, saya sudah begini bijaknya ternyata,... *dilempar batu)

Balik ke topik, setelah puas menikmati matahari terbit, debur ombak dan pagi yang indah, kami bergeser beberapa kilometer ke kawasan pantai berpasir untuk menikmati sarapan. Selain mencari tempat yang lebih nyaman, penyebab kami tidak sarapan di Karang Hawu adalah mahalnya tarif sewa tikar, bayangkan saja, per tikar disewakan 50ribu rupiah!!
Akhirnya, kami bisa menikmati sarapan pagi dengan cukup nyaman, di wilayah konservasi atau apa saya agak lupa. Pantainya berpasir, cukup luas, dengan ombak besar, sehingga terlihat beberapa orang berselancar atau sekedar bermesraan dengan bermain ombak. Di tempat ini ada anak-anak kecil imut yang menyewakan tikar, tarifnya jauh lebih murah dari sebelumnya, 10ribu per tikar. 
sabar, antri satu-satu ya piringnya!!!
Sarapan hemat, bekal dari rumah. Enak itu adalah saat bersama, lezat itu adalah saat lapar, berkah itu adalah saat mensyukurinya :)


hap-hap, makaaan (dok.: Bang Oz)
surfing (dok. : Bang Oz)
Perjalanan berlanjut ke destinasi utama kita, Ujung Genteng. Jarak Pelabuhan Ratu ke Ujung Genteng cukup jauh, kurang tau persisnya. Jika dalam perjalanan sebelumnya dari Jakarta ke Pelabuhan Ratu kami banyak mengandalkan bantuan google maps dan maps-nya iPad, lain halnya perjalanan sesi II ini. Signal sudah enggan muncul, alhasil, penunjuk jalan ijo-ijolah yang menuntun kami. Dan setelah ada signal, sepertinya jalur yang telah kami lewati berbeda dengan yang direncanakan sebelumnya via google maps, ya sudahlah, meski mungkin lebih jauh, yang penting sampai dengan selamat. Hanya saja, yang cukup mengherankan adalah penanda ijo-ijo dari Dinas Perhubungan, karena perhitungan jaraknya sungguh tak masuk akal. Misalnya, antara 2 rambu yang selisih 2km pada kenyataannya hampir 20km, dan ada pula yang malah jaraknya malah menjadi lebih besar, dari 12km menjadi 15km pada rambu berikutnya, semoga bisa menjadi perhatian Dishub ke depannya, untuk membantu khalayak yang tidak ber-GPS dan malu bertanya, agar tak tersesat di jalan.
Siang hari sebelum dzuhur kami tiba di Ujung Genteng, langsung menuju penginapan. Penginapan kami merupakan rumah penduduk yang disewakan, berada di wilayah Pangumbahan, lokasinya cukup sulit diketahui, terutama bagi yang baru pertama berkunjung seperti kami. Untuk itulah, Pak ... , seorang makelar penginapan, menjemput kami di wilayah Ujung Genteng, ia berjas hujan meski di siang terik, mungkin agar mudah dikenali saja, ia pun meluncur tanpa banyak cakap, menunjukkan arah dengan motor astrea grand-nya, kami hanya mengkikutinya dengan pasrah, melalui jalan beraspal yang rusak, lalu bebatuan, lalu tanah yang menggenang di sana-sini, menyajikan medan offroad yang tak terduga, bagi mobil xenia sewaan kami. Syukur, akhirnya kami tiba juga. Tapi mobil yang satunya, rombongan mas Gun ternyata tertinggal jauh, dan tak bisa menyusul. Angga pun balik menjemput mereka ke lokasi awal. Begitu semuanya tiba, setelah shalat Dzuhur rombongan cowok menunggu para wanita menyiapkan makan siang dengan sabar (baca : tidur siang seenak jidat :p).

tidur siang, menunggu makanan siap :p
Saya sendiri tak ketinggalan, tidur tanpa beban. Dan tiba-tiba sekitar pukul setengah 3 sore dibangunkan, ternyata makanan sudah siap, dan anak-anak yang lain telah mengantri. Karena badan terasa lengket semua, saya pun mandi dan ganti baju dulu. Begitu selesai langsung menyantap makan siang, dengan ayam dan tempe goreng yang gurih, terimakasih buat ibu-ibu yang cantik, solehah dan baik budi :)
Hujan turun pada sore hari itu, tapi tak menyurutkan hasrat kami untuk melihat penyu. Pukul 4 sore, bertolak ke penangkaran Penyu.
sibuk dengan gadget masing-masing

reunion kelompok Dinamika STAN : Khittoh, Ahmad, Saya, Olan, & Angga sbg bintang tamu :p
Sesorean di penangkaran di temani gerimis manis, ternyata pintu masuk ke dalam penangkarannya belum dibuka juga. Setelah Angga dan Himi membeli ikan buat makan malam, kami pun kembali ke penginapan.
Di penginapan, menikmati makan malam bersama dengan bakar jagung dan ikan, tak lupa menu wajib trip kami, ayam, sedaaap.
jagung bakar manis gurih, mak nyus
Pak Makelar pada sorenya, sekitar pukul setengah 7 memberitahu kami, "penyu" sudah naik, jadi sudah dibuka, bertelurnya sampai jam 2 dini hari-a lah lanjutnya saat kami tanya. Jadilah kami bertekad melewati halang rintang medan offroad lagi demi melihat penyu bertelur. Selesai makan malam, kami mempersiapkan senter dengan penuh keyakinan. Berangkat sekitar pukul 11 malam, hanya meninggalkan pasutri Harestya dan Nurul di penginapan.
sekali lagi, menunggu di depan pintu yang masih tertutup, rasanya seperti ditolak 2 kali oleh orang yang sama
Lelah menunggu dan mengantuk, ternyata kabarnya tak kunjung jelas. Dengar-dengar si penyu emang sudah naik, tapi baru akan dibuka kalo dia sudah menemukan tempat yang pewe buat bertelur dan udahan mulai bertelur. Bertelurlah dalam damai wahai penyu, aku tau kamu malu :'). Kami pun kembali ke Penginapan, dalam lelah, ngantuk dan kecewa.... (#np : berhenti berharap)

Paginya, sehabis shalat Subuh kami beramai-ramai ke pantai Pangumbahan. Suasana pagi itu agak sahdu, nyaris ke sendu dengan ancaman awan yang hendak mengirim hujan. Pantainya cukup luas, dengan perpaduan karang rendah dan batu-batuan kecil, bukan kerikil halus, dengan ombak yang cukup besar. 
pantai yang luas, dengan ombak besar

ombak bergulung dibawah langir yang sendu

kakak beradik, dan tukang fotonya
Kami berjalan menyusuri pantai sambil berfoto-foto dan pada satu tempat, berkumpul untuk foto bersama.
bang Oz, Olan, Handono, Himi, Gania, Indri, saya, Wida, Coco, Angga, Nurul, Harestya, Khittoh, Febri, Dedy
Sehabis foto-foto, kami para cowok asik bermain air, membiarkan diri terbawa ombak di pinggiran pantai. Rasanya seperti body rafting sewaktu jaman SD dulu, saat saya dan kakak, serta teman-teman sering "kalen" (menghanyutkan diri bersama arus sungai) di sungai desa tempat kakek dan nenek. Bahkan, saat ditinggal orang tua merantau ke Jakarta, ketika belum sekolah dulu, saya pernah beneran hanyut sampai luar desa, hingga membuat kakak saya harus menerima hukuman karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik, begitulah besarnya tanggung-jawab seorang kakak :).
Lanjut,... 
Setelah berlama-lama bermain air, ternyata, masih saja ada cowok yang belum menceburkan dirinya, yaitu Olan. Kami pun sepakat beramai-ramai menceburkan dia ke air. Berhubung badannya yang gede, butuh banyak orang buat menangkatnya, jadilah sepakat kami semua beramai-ramai menggotongnya, setelah seorang dari kami mengambil "iPhone 5" yang sedang ia mainkan untuk diselamatkan. Sukses!!!
Tunggu dulu,..
Tak beberapa lama, saya lihat kacamata saya masuk ke pasir, posisinya didekat tempat Olan tadinya duduk. Ke kanan kiri mata saya mencari tas kamera, waduh,... dan dari pantai, seseorang berteriak "punya siapa ini?" sambil mengangkat tas saya dari air, mendadak emosi saya, datar saja. Tidak terlalu sedih juga, ya sudahlah, emang waktunya pensiun pikirku. Malah lebih sedih saat aku menuliskan ini sebenarnya, dengan menatapnya, ia diam tak mau menyala, dengan lcd yang terkikis air laut dari pinggirannya. Nampak utuh di luar, tapi rapuh di dalam, sendu.
Setelah menguluarkan kamera dan hape dari dalam tas, saya lantas melepas bateray dan memory card-nya. Membiarkan mereka menikmati angin supaya kering, saya lupa kalo air laut itu menghancurkan, setipe air mata kehilangan, halah....
Bermain air pun tetap berlanjut, hingga kami dimarahi oleh seorang bapak-bapak penduduk lokal, karena bermain ombak di saat ombak sedang besar. Kami pun hanya diam saat beliau memarahi kami, karena ternyata hanya rombongan kami yang bermain ombak pagi itu. Berangsut pergi seperti anak kecil yang dimarahi bapaknya, kami pun akhirnya, nyebur lagi saat si bapak sudah tidak terlihat :D.... 
(sebagai catatan, kami hanya bermain di pinggiran, tidak jauh dari garis pantai, jadi masih ada perhitungan keamanan. Jika Anda sudah diperingatkan untuk tidak bermain ombak, patuhilah, jika tidak, ya tetap bermain dengan perhitungan yang matang, jangan nekat!!!, sayangi nyawa dan kesehatan Anda)

Setelah puas bermain air, kami kembali ke penginapan, antri mandi sambil menunggu ibu-ibu menyiapkan sarapan. Setelah sarapan, jam 10 lebih kami berangkat dari penginapan, menuju Cikaso.
foto bersama di depan penginapan, sblm pulang (dok. : Bang Oz)
Perjalanan Ujung Genteng Cikaso sekitar 2 sampai 3 jam. Begitu sampai, kami membayar tiket masuk seharga 3ribu per orang. Tapi anehnya beberapa ratus meter setelah pintu tiket, ada portal dari warga lokal, kecil memang mintanya, hanya seribu per mobil, tapi rasanya kurang pas saja. Apakah tidak ada kompensasi dari Dinas Pariwisata atau bagaimana?
Begitu sampai di parkiran, terlihat sungai besar di bawah, dan beberapa orang berjalan menyusuri sawah. Untuk menuju air terjun, ada 2 pilihan yang bisa ditempuh, dengan menyewa perahu seharga 80rb atu berjalan kaki melewati sawah dan kebun. Untungnya di antara kami, ada dedy yang pernah berkunjung sebelumnya, ternyata jarak tempuh dengan jalan kaki sangat singkat, apalagi buat penggemar hiking macam kami. Rasanya hanya perlu jalan 10-an menit saja.
Parahnya lagi, begitu hendak ke air terjun, lagi-lagi ada tiket masuk. Tapi kali ini yang menagih seorang bocah kecil, di depanku ada Angga dan Himi, mereka berlalu begitu saja ketika si anak memanggil. Saya sendiri pun, seolah tidak melihat apa-apa ketika si anak hendak menagh tiket masuk, yang entah buat apa lagi. Begitupun, teman-teman yang lain, semuanya tak menghiraukan si anak rupanya.
Air terjun Cikaso menyajika pemandangan yang luar biasa, debit airnya sangat deras. Air terjunnya sendiri ada 3 aliran, masing-masing berjarak sekitar 50 meter. Saya pun sampai harus meminjam kamera Himi karena saking tdak sabarnya buat memotret, bersyukur ia mau mengalah dengan menyerahkan kameranya ke saya, :')
Berikut dokumentasi spesial dari Bang Oz lagi :
dua di antara tiga aliran air terjun Cikaso, (dok. : Bang Oz)
Kami pun kembali berbasah-basah di Cikaso, sudah mempersiapkan diri dengan baju basah sebelumnya :). Puas bermain air, kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Mampir dulu ke Surade untuk mengisi perut yang sudah kelaparan, kami langsung meluncur pulang. Dan berkaraoke sepanjang perjalanan, bersama bang Oz, Wida, Nurul, Harestya, Indri sebagai penyimak, sedangkan Olan dan Dedy bergantian mengisi kursi depan. Sebagai selingan, kami mengalah untuk membiarkan mas Gun memutar lagu-lagu D'Bagindaz, yang tak lupa diiringi cerita-cerita darinya soal personil mereka :')
Mampir dinner di pecel lele Lela, sekitar pukul 11 malam, saya sudah ketiduran sebelumnya.
tetap cerah meski lelah, senangnya menjadi kamera :)
Perjalanan pulang kami bertepatan dengan malam tahun baru, yang bagiku tak ubahnya malam-malam yang lain. Bukan karena saya tak punya harapan atau apa, hanya saja buat saya, momen perubahan bisa dilakukan kapan saja, saat niat bertemu dengan komitmen dan usaha. Dan apa pula guna berhura-hura jika keesokan harinya hanya akan bangun kesiangan :).
Sayang, kesadaranku belum sepenuhnya hadir ketika kami berpisah di Cibubur. Tiba-tiba saja,rombongan sudah dibagi 2, yang ke Kalibata dan Bekasi, dan satunya lagi ke Bintaro. Aku ikut rombongan Kalibata, dan malam itu menginap di kos Dedy, karena adanya even Car Free Night di Sudirman, jadi akses ke kos-ku akan sulit.

Sampai jumpa lagi teman-teman, senang bisa menghabiskan waktu yang indah bersama.

Catatan Tambahan :

Biaya perjalanan kami, setelah dihitung dengan cermat oleh ibu suri (Himi), per orangnya kena cuma 360ribu rupiah, terimakasih banyak Angga dan Himi, semoga langgeng :). Biaya yang menurutku murah, dengan kualitas yang tidak murahan. (iklan mode on).
Sebagai tambahan, perhitungan awal kami adalah 430rb per orang, syukur bisa ada penghematan di sana sini, sehingga bisa lebih murah dapetnya.
Biaya yang cukup besar :
- sewa 2 mobil : 2 x 350rb x 2 hari. (350rb karena melewati malam tahun baru, dan tidak ada extra charge buat kelebihan jam, sampai pagi harinya)
- penginapan : 500rb per malam, berupa rumah dengan 2 kamar, ruang tamu dan ruang keluarga yang cukup luas, dapur dan kamar mandi, dan ada listrik :)
- sewa sopir artis : 450rb untuk 2 hari
- bensin, logistik, makan selama perjalanan, dan tiket-tiket masuk ga apal, tapi relatif murah kok :).

Kondisi jalan dari Jakarta ke Ujung Genteng maupun akses ke Cikaso relatif sudah baik, hanya saja memang penuh kelokan tajam. Dan sebagai catatan, jalanan di Ujung Genteng ke Pangumbahan yang sangat parah, bukan aspal atau batu lagi, melainkan tanah, yang sudah pasti menjadi arena offroad yang cukup ekstrim.

Ketika membaca catatan-catatan perjalanan sebelumnya, Ujung Kulon selalu identik dengan penyu. Tapi dalam catatan saya kali ini, penyu di Ujung Genteng bagi saya, cukuplah berupa beton-beton tercetak dalam berbagai ukuran yang bertebaran. Mungkin jumlah patung penyu dan penggunaan nama penyu  atau turtle untuk penginapan atau hotel di sana sudah jauh lebih banyak dari populasi penyu sendiri. Jika melihat binatang adalah impian Anda, maka meilhat sapi-sapi kurus yang bertebaran mungkin bisa cukup menggantikan kekecewaan. Tapi sayang, sapi tidak bertelur saudara-saudara. :')

Video cuplikan perjalanan offroad dari tempat penangkaran penyu menuju penginapan :

Comments