Bromo - Madakaripura , Jalan yang Panjang

bromo, suatu pagi
Undangan nikah dari seorang sahabat dekat, ku terima sekitar awal Oktober lalu, tanggal pernikahannya tepat di hari libur panjang, dan tempat pernikahan di rumah istrinya, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Cukup jauh dari Jakarta, sebuah perjalanan panjang pikirku, apalagi perjalanan sendirian, satu-satunya teman yang prospek untuk diajak, berbenturan dengan jadwal UAS, yah, mengingat dia di DIV STAN, tanpa alasan apapun, aku bisa paham.


Setelah berpikir keras (kurang lebih 3 detik), saya pun langsung mengetik di kolom google, "trip bromo 27 oktober 2012", ketemulah link di backpacker indonesia, setelah dibaca-baca, waktunya pas, cocoklah, Jumat dari Jakarta/rumah, Minggu pagi tgl 28 turun langsung kondangan. Harga/ 495rb jika dari Jakarta PP, dan 395rb untuk ketemu di Malang. Beberapa detik kemudian langsung nelpon mas Ischamdi, sang EO, masih open? iya, oke , deal. Coba kalo jodoh juga semudah itu ditemukan, mikir 3 detik, googling 4 detik, putusin 3 detik, nego 1 menit, total 1 menit 10 detik :p.
skip saja sesi curcolnya, kembali ke materi yang cukup panjang

1. Jakarta - Salatiga, 24-25 Oktober
Berhubung tak kebagian tiket kereta, saya pun beralih ke bus AKAP. Perjalanan dimulai dari Kantor saya, sepulang kerja, pukul 17.30 meluncur dengan Kopaja 66 hingga Manggarai. Sesuai petunjuk teman, dari Manggarai seharusnya naik bus kota ke Rawamangun, tapi setelah clingak-clinguk sebentar tidak ketemu, akhirnya saya mampir Pasaraya saja. Niat hati tanya-tanya Satpam, malah ga nemu, ya sudah, shalat Maghrib dulu, setelah itu lanjut ojek. Sampai sekitar pukul 19.00, masih ada sisa waktu, mampir dulu ke toko outdoor dan Isya di masjid. Bus berangkat pukul 20.00, dan sampai Salatiga pukul 11 siang :(, akibat sempet mogok hingga diganti bus selama 3 jam di Pekalongan. Dijemput Bapak di terminal. Salatiga.

biaya : Kopaja 2000 + ojek 20.000 + bus Gunung Mulia 135.000

2. Salatiga - Malang, 26-27 Oktober
Shalat Idul Adha sudah, rambut dan kumis pun juga sudah dipangkas, kesampaian juga Idul Adha di rumah untuk tahun ini, setelah tahun lalu ber-Idul Adha di kantor, bersama bu SMI :).
Tiket bus Salatiga-Malang sudah ditangan sejak kemarin, berangkat dr terminal Salatiga pukul 19.00. Selepas Maghrib, sekaligus menjamak dengan Isya', saya pun berangkat, dengan diantar oleh  Bapak ke terminal, ternyata bus tiba pukul 18.45-an, dan setelah saya naik, dicek, langsung berangkat, tepat pukul 18.49.
Bus melaju cepat ke arah Solo, dengan hawa dingin AC yang menusuk dan tak adanya teman, fasilitas yang diberikan oleh PO Rosalia Indah, yang ternyata jurusan Pekalongan-Malang itu sangat membantu. Selimut untuk berlindung dari hawa dingin, dan bantal untuk dipeluk sebagai pengobat sepi. Tiba-tiba sekitar tengah malam kondektur membangunkan kami, waktu makan malam. Dengan rasa kantuk yang masih berat saya pun turun, dan dengan malas memandang antrian orang hendak makan. Jangan harap saya mau antri panjang demi makanan begitu, saya pun segera ke kamar kecil, membasuh muka dan p*p*s, sekalian nunggu antrian. Setelah habis antrian, barulah saya makan, dengan apa yang masih tersisa.
Oya, soal antri buat makan ini emang saya tidak suka, bukan karena sombong atau malu, ya tidak suka saja. Bagi temanku di STAN dulu, pasti mereka sudah tau, jika ingat aku termasuk yang tidak setuju dengan program "Warung Seribu"-nya BEM. Saat diklat beberapa minggu yg lalu pun, selama 5 hari, saya hanya bisa makan lauk 2 kali, sisanya tidak kebagian, karena saya masuk ruang makan belakangan, hehe.
Kembali ke perjalanan, setelah makan, saya kembali tidur di bus, masih dengan selimut dan bantal :p. Dan ternyata, sebelum jam 3, kondektur sudah berteriak "Arjosari, Arjosari, yang turun terminal..."

3. Petualangan pun Dimulai

Malang, Pagi Ini
Begitu turun dari bus, astaga, gelap, sepi, dan masih dini hari begini. Kondisi terminal Arjosari sungguh berbeda dengan di Surabaya yang selalu ramai, 24 jam. Karena bingung mau kemana, saya pun keluar area terminal, dan berjalan asal menyusuri jalanan, berniat mencari masjid. Beberapa ratus meter jalan, tak ada tanda-tanda, akhirnya saya kembali ke arah terminal dan niat bertanya pada orang yang nongkrong di pinggir jalan, begitu mendekat, wah ternyata pasangan cowok-cewek sedang *uhuk, melipir menjauh dan mencari korban lain. Akhirnya setelah bertanya2, masjidnya di dalam terminal, masuk lagi deh, cukup jauh ke dalam, mungkin 500meteran dan gelap pula.
Begitu sampai, ambil wudlu, ada sms masuk, dari "Rifa'i Jepara", seorang teman baru, yang ikut trip juga. Ternyata, dia sudah lebih dulu tiba, dan tiduran di kursi tunggu terminal. Setelah dia menyusul ke masjid, berkenalan, menunggu Subuh tiba dengan shalat, berdoa agar segalanya dilancarkan.
Setelah Subuh, mandi pagi, kami pun meluncur ke stasiun jam setengah 6 pagi. Sesuai petunjuk Mas Ischamdi, angkot dari Arjosari ke stasiun adalah AMG, tapi di daftar angkot di terminal ternyata tidak ada, dan begitu ke terminal angkotnya ternyata memang ada, tapi kosong. Sementara angkot yang sudah siap jalan adalah ADL, dan saat kami bilang ke stasiun? iya, ya sudah, ikut saja, di Jawa ini, kenapa juga tidak percaya, hehe
dan, sampai juga, alhamdulillah.
stasiun Malang, terlihat bersahaja
stasiunnya bersahaja, tapi fasilitas charger gratisnya luar biasa
Setelah hape cukup terisi, dan kami berdua menunggu dengan bosan di stasiun, akhirnya kita putuskan untuk berjalan-jalan mencari panas mentari. Ternyata, hanya dengan berjalan lurus beberapa ratur meter dari stasiun Malang, kita bisa temui sebuh benduran alun-alun Malang.


tugu yg sederhana, tp ditemani teratai yang indah
Alun-alun terlihat bersih, rapi dan indah. Dengan hiasan bunga-bunga teratai di kolam yang mengiitari tugu. Jika di Bundaran HI, Jakarta, daya tariknya adalah air mancurnya. Maka lain di Malang, air mancurnya memang hanya memancur sekenanya, tak seheboh di Jakarta, tapi dalam kesederhanaan itu, mereka ditemani bunga-bunga teratai warna jingga, penuh cinta. Tak semegah air mancur bundaran HI, tapi mereka, dalam kesederhanaannya, punya teman yang indah.




siapa tak terpesona kecantikannya, instagram : @penguintropis
Singkat cerita, rombongan besar peserta trip dari Jakarta dengan kereta Matarmaja sampai di  ...
Malang pukul 8 pagi, lewat dikit. Setelah sukses menghubungi EO, akhirnya saya dan Fa'i segera bergabung dengan yang lain, di taman depan stasiun. Sambil mengobrol dengan orang-orang baru, kami pun menikmati makan pagi berupa nasi kotak dari panitia, alhamdulillah, semoga cukup untuk memulai hari panjang nanti.
Setelah absen, melunasi biaya bagi yang belum, dan udah datang juga yang pakai kereta Gajayana, kami pun meluncur ke Alun-alun kota (lagi, bagi saya dan Fa'i). Tapi kali ini, kami tak lagi berteman sepi, karena jumlah rombongan ada 34 orang, plus 4 atau 5 panitia.


tampak balai kota, dengan keterangan sejarah tugu alun-alun kota Malang
balai kota yang menyejukkan pandangan
tugu, teratai, dan balai kota
Setelah puas berfoto-foto ria dengan balai kota, tugu, air mancur yang mengucur sekenanya, teratai dan sejuknya Malang yang telah berubah jadi panasnya siang, 3 mobil Isuzu elf yang disediakan panitia sudah menanti kami. Siap berangkat ke destinasi pertama, Air Terjun Madakaripura. Sebagai cowok, pasti saya belakangan masuk mobil, membiarkan yg lain memilih yang disukai, dan saya mengambil apa yang masih tersisa, karena dimana pun tempat, tetap menyenangkan (pencitraan banget nih, hehe). Awalnya sudah masuk salah satu mobil, ternyata yg di dalam cewek semua, hmm, cari yang lain dulu, bukan muhrim, akhirnya pindah mobil lain, kebetulan cowok. Setelah masuk, berkenalan, namanya Yoga kalo ga salah, pegawai Kemenakertrans, yang setelah berjalannya waktu baru saya tau dia itu ternyata orang Jawa juga, disebelahnya ada pacarnya, lupa lagi namanya, hehe.

Madakaripura, Pesona Tersembunyi Air Terjun Tertinggi di Tanah Jawa

Setelah melewati perjalanan yang cukup lama dari stasiun Malang, dan terpantau (dari alamat toko-toko di jalanan) kami telah melalui Pasuruan, hingga akhirnya belok kanan ke daerah yang terlihat kering kerontang di sepanjang perjalanan. Pohon-pohonan tampak kering, tanah terlihat berdebu dan sepanjang mata memandang, ladang-ladang itu tampak kering saja, syukur masih ada sekelompok daun-daun hijau yang mampu bertahan. Bahkan, sempet terlintas dipikirku, wah, bakalan cuman liat "bekas" air terjun nih, bekas aliran, akibat sungainya mengering. Dan, benar saja, begitu semakin dekat hingga sudah ada penunjuk arah "Air Terjun Madakaripura", tepat sebelum tanjakan yang ku duga tanjakan terakhir, ada mantan sungai berbatu dibawah jembatan, benar-benar mantan, yang telah terlupakan. Tak ada air, meski sekedar genangan, pasrah sudah.
Tak sampai 30 menit dari mantan sungai, sekitar jam 1 siang akhirnya kami sampai. Menunggu panitia menyelesaikan administrasi, kami bersiap-siap. Aku sendiri, bergegas masuk ke mobil lagi setelah memastikan semua orang keluar, untuk berganti celana pendek, karena hanya 1 celana panjang yang menempel itulah yang kubawa, bisa kiamat kalo sampai basah. 
Air terjun ini terletak di Kabupaten Probolinggo, tepatnya di desa Sapih, Kec. Lumbang. Ada yang menyebutkan bahwa ia merupakan air terjun tertinggi di tanah Jawa, dengan ketinggian 200 meter, dan tertinggi kedua di Indonesia, setelah Sigura-gura di Sumatra sana. sumber : visit Indonesia .
Menurut cerita rakyat setempat, konon, di tempat inilah tokoh besar Nusantara, Gajahmada bersemedi untuk menghabiskan sisa hidupnya hingga akhir hayat. Dan nama Madakaripura sendiri, dalam kitab Negarakertagama, adalah tanah yang diberikan oleh Raja Majapahit, Hayam Wuruk kepada mahapatihnya tersebut. Boleh percaya, boleh tidak, mengutip kata-kata seorang petani tua desa, dalam sebuah artikel yang pernah saya baca. 
Oleh karena itulah, begitu kita masuk ke area, berdiri kokoh patung seorang gagah perkasa yang sedang bersemedi, yaitu : Gajah Mada, bukan Gajah Maryo, apalagi Gajah Nakal tentunya (hanya warga DKB lama yang tau maksudnya :|).
Gajahmada berpose semedi
Begitu masuk dan melewati patung tersebut, kita pasti akan langsung disambut pemuda-pemuda lokal yang beraksi sebagai guide. Sampai-sampai panitia kami meminta agar tak terlalu banyak guide untuk kami, cukup 3 orang, karena pasti jatuhnya mahal lah klo kebanyakan. Tapi jasa mereka memang diperlukan, berhubung untuk menuju Madakripura kita perlu berjalan sekitar 20 menit menyusuri pinggiran sungai, yang ternyata tidak kering, dan masih menjadi sungai dengan air yang jernih meski di masa kemarau, bukan sebuah mantan sungai.
Selain itu, kita juga harus beberapa kali menyeberangi sungai tersebut, dari satu sisi ke sisi yang lain. Yang tentunya harus berhati-hati, karena licinnya bebatuan. Jadi, guide memang diperlukan, minimal 1 untuk rombongan kecil, dan tambahan menyesuaikan dengan kepiawaian anggota dalam membolang. Berdasar info-info yang saya cari, upah per guide 50k.
Sementara tiket masuknya HANYA 2500. Dan perlu biaya parkir, 3000 per motor, mobil 7500 kalo ga salah, mahal juga nih :|.
warga setempat langsung menyerbu pengunjung, sbg "guide"
antri untuk menyeberang, NB : ngiklanin EO
Akhirnya, setelah 20 menitan berjalan melipir dan menyeberang bebatuan licin, terbayar dengan eksotisme yang luar biasa.


Eksotisme Madakaripura
Sebagai tambahan, sebelum menemui air terjun utama, yang terletak seperti di dalam tabung, kita harus melewati sekitar 3 atau 4 air terjun dengan arus yang besar. Dan airnya mengucur deras ke jalan yang kita lalui, jadi untuk melindungi kamera, dan mungkin juga baju Anda, ada baiknya sedia payung sebelum ke air terjun ini. Tapi bisa juga sih sewa payung, dan beli plastik buat ngebungkus barang bawaan, jangan lupa bawa duit lah. Saya sendiri, duitnya ketinggalan di kantong celana panjang yang tertinggal di dalam mobil :|.

sedialah payung sebelum hujan, atau jika mau hujan-hujanan
Di air terjun utama, dengan ketinggian sekitar 200 meter, dengan suara yang air yang cukup keras, karena posisinya  seperti di dalam tabung, terdapat semacam kolam dan gua di bagian bawahnya. Kedalamannya sekitar 7-10 meter, logis aja sih, kalo dijatuhin air dengan debit seperti terus-terusan. Sayangnya saya belum bisa berenang, jadi tidak bisa menikmati tambahan eksotisme yang ditawarkan ini :(. Padahal, konon didalam kolam inilah, tepatnya di dalam gua, tempat Gajah Mada dulunya bersemedi, keren.

kolam di dasar air terjun
Yang disayangkan, adalah keisengan yang merusak keindahan alam. Corat-coret dan buang sampah sembarangan, keterlaluan.
vandalisme yang merusak

Sekedar pembuktian, jika benar saya kesana, bukan narsis loh ini :p.

hanya pembuktian semata :)
Setelah puas bermain air, kami pun kembali. Tak lupa mampir untuk menikmati minuman hanat dan gorengan yang dijajakan di sepanjang jalanan dekat air terjun. Alhamdulillah ga jadi ngutang, karena ada yang ntraktir, seorang kakak kelas dari almamater yang sama ternyata, JurangMangu hore, baru tau kalo ada teman seinstansi di rombongan.
Setelah berkemas, menjama' shalat Dzuhur dan Ashar, sore itu, sekitar jam 4 sore, kami segera melanjutkan perjalanan kami, hendak ke Bromo. Mulai dari sini saya berpindah tempat duduk di mobil, ke samping sopir, bersama dengan kakak kelas tadi, biar lebih klop, sekalian ngobrolin kerjaan, hehe.

Bromo, status Waspada!!! (Waspada Ketagihan mungkin Tepatnya)

Tepat jam 6 sore, kami hampir tiba di komplek Bromo, Cemorolawang tepatnya. Sebelum masuk, kami pun mampir ke Warung Siang Malam "Rawon Bromo", untuk mengisi perut lagi. Menu rawon memang cocok untuk pengobat gigitan dingin udara Bromo, seperti kata para penjaja kaos tangan, kaos kaki dan kupluk kepala, "Bromo dingin lo Mas". Harga lumayan manusiawi, nasi dg kuah rawon plus telur rebus, 8ribu. Alasan saya milih telur rebus karena lalat ditemapt itu banyak, dan satu-satunya menu yang terlindung adalah telur rebus, dengan kulit yang masih membungkus, tak seperti ayam, dan empalnya yang tak punya perisai :|.
Tak sampai sejam, kami sampai di gerbang Bromo. Biaya tiket masuk Bromo 6000.
Dengan hampir 40 orang tersebut, kami menempati satu rumah yang disewakan, dengan 3 kamar dan 2 kamar mandi. Berdesak-desakan banget sih, cuman semalem ini doang, dan dengan udara begitu dingin, rapat tentu akan lebih nikmat. Kamarnya di tempatin khusus cewek-cewek, sementara cowok menempati ruang tamu dan teras (salut buat yang di teras). Ada juga 2 tempat tidur di ruang TV, yang sayangnya ga bisa buat menonton pertandingan MU vs Arsenal malam itu, ditempati satunya oleh 2 cewek, dan lainnya 2 cowok.
Yang paling dikeluhkan sebenernya air, karena ternyata air tidak mengalir, hanya yang ada di bak mandi dari awal, sehingga agak kurang nyaman. Dan untuk wudlu pun tak bisa, untungnya disana ada mushola, terletak di belakang kantor pengelola.

Bersiap Hunting Sunrise,
Sehabis Subuh, tepat pukul 4 kami start perburuan matahari terbit, berjalan kaki, menembus dinginnya hari dini. 30 menit berjalan sampai lokasi.
bersemangat penuh untuk hunting sunrise :)
view puncak Bromo dari Petigen, kurang jelas mana Semeru
Niatnya sambil nunggu matahari akhirnya muncul secara "cetar membahana", kami sibuk dengan foto-foto ria ke arah puncak Bromo ini. Hingga secara tiba-tiba matahari udah bulet penuh aja, dengan posisi di sebelah kiri kami, jujur saja, posisi matahari terbitnya kurang greget, karena tak searah dengan view puncak Bromo, dan Semeru yang ku rindu. Dan mungkin memang matahari pagi itu kurang galak, jadi kalem-kalem aja.
Tapi bukan masalah besarlah, apalagi dengan rekorku sebagai pendaki gunung yang belum pernah menjumpai sunrise saat summit ini, berbau curcol.
Lupakan soal sunrise yang tak segalak yang dibayangkan, narsis tak boleh luntur.
foto session, khusus cewek
doing gangnam style
Jam 6 pagi kita pun bersiap turun ke pasir Bromo, dengan jip, bergaya sapi mau dipotong, berdiri di bak, hehe. 3 jip cukup untuk kami beramai-ramai. 
Ber-offroad lah kita ala rally dakar.
sit like a bos
sekitar 15 menit ber-jip, kami sudah tia di lautan pasir. Siap berjalan menyusuri pasir, menuju kawah Bromo, bismillah. Start pukul 06.20.
tampak puncak Batok
pura di tengah pasir, tempat diadakan upacara umat masy. Tengger & warga Hindu
berjalan menuju kawah, pasir sepanjang mata memandang


barisan manusia, dan kuda, menuju kawah aktif Bromo
jika tak suka berpetualang, ini lebih baik
lakik!!!, itu nolongin cewek
Dengan berjalan kaki, saya sampai kawah Bromo dengan berjalan sekitar 40 menit, kecepatan santai, karena macet dan berdebu.
Keuntungan jalan :
- irit
- dapet olahraga, (pemanasan buat semeru, bagiku)
- seru aja
Kerugian :
- capek, ya iyalah
- berdebu dan pasir, bau kotoran kuda juga, karena bersaing dengan kuda. (Cara mengakali : ambil jala di luar jalur yang ramai, tapi resiko ilang atau kejebak buntu tanggung sendiri, alhamdulillah saya sukses mencoba, dan insyaAllah aman, cuman lebih capek ,karena jarak lebih jauh tentunya).

Alternatifnya, kalo emg murni mau wisata dan ga mau capek, ya naik kuda, tarifnya 40ribuan, atau 20ribu, bahkan 10ribu bisa juga, tapi naiknya pas udah mau sampai atas :p.


kawah yang masih aktif, waspada
Pukul 07.30-an kami pun turun, saya tepatnya, karena akhirnya pas turun memisahkan diri dari dari rombongan, coba-coba cari jalan yang bebas debu.

dimas, peserta trip termuda, kelas 1 SMP, gabung trip ditemani nyokapnya, anak mami :p
Pukul 08.30, melanjutkan rally dakar dengan jip. Menuju lautan pasir dan bukit teletubbies. Di sepanjang jalanan pasir, jip kami bersaing dengan para pengendara motor, mulai dari motor-motor lakik, macam megapro, vixion, hingga motor matic, warga Indonesia emang yahud, nekat abis maksud saya :).
berkejaran jip di lintasan pasir
bebas berekspresi
foto bersama terakhir, sebelum berpisah lagi :)
berjalan pulang, ke tumpang
Pukul 11 siang, kami samapi di Tumpang, mandi dan makan siang. Sudah tak sabar untuk segera meluncur ke Kertosono, acara inti saya, kondangan nikahan sahabat.
Sebelum deal ikut trip ini, kebetulan saya sudah minta tolong ke panitia untuk memastikan pemesanan tiket travel ke Nganjuk, agar bisa secepatnya cabut setelah selesai trip. Tiket travel pun suda mereka sediakan. Hanya sayangnya, baru berangkat jam 3 sore, jauh dari ekpektasi saya, sebelum jam 12 siang :(, hati saya menangis saat itu. Menyadari teman saya melewati hari besarnya, dan saya tak bisa berusaha keras untuk sekedar menyaksikan. Sungguh, gabungan antara menyesal, kecewa dan bermacam-macam ga jelas.
Tapi sudahlah, lalui saja, toh ga mungkin juga nyewa heli, ga kebeli :(.

4. Malang - Kertosono, Sore yang Sendu
hanya pelaminan kosong yang ada
Setelah menunggu di agen travel sejak siang, akhirnya mobil siap juga berangkat tepat pukul 3 sore. Saya penumpang pertama, dan pada akhirnya muter-muter dulu menjemput yang lainnya, nett sekitar jam setengah 5 kali baru jalan keluar dari Malang. Ketar-ketir rasanya hati saya. Tiket travel, Malang - Kertosono, 50rb. Dengan mobil Luxio.
Dan akhirnya, sampai juga di perempatana Kertosono, sekitar setengah 8 malam, berjalan kaki mencari bekas acara kondangan, pertama salah masuk ke acara sunatan, dan akhirnya tepat di tempat yang kedua. Dengan kedua mempelai telah berpakaian santai, sedang mengobrol santai dengan keluarga.

5. Kertosono - Salatiga, Ku Habiskan Malam di Jalan

Berangkat dari Kertosono sebelum jam setengah 9 dengan bus Eka, Surabaya-Jogja, via Solo. Kurang jelas itu bus patas atau bukan, karena yang ku pikir hanya ingin segera sampai rumah, Kertosono - Solo 22ribu.
Sampai Solo sudah lewat tengah malam, sekitar pukul 1 dini hari, masjid pun jadi tempat pertama yang ku cari. Lain Malang lain Solo, lain Arjosari lain Tirtonadi, teras masjid di terminal Tirtonadi penuh dengan orang-orang yang tidur, hingga sulit untuk mencari jalan masuk untuk shalat. Memang suasana di Tirtonadi masih cukup ramai meski di malam hari.
Jam 2 bertolak dari Solo dengan bus Patas Taruna, Solo-Semarang, 10ribu sampai Salatiga. Tiba di terminal Tingkir pukul 3 lewat, menunggu beberapa saat, Ayah sudah datang menjemput dengan supranya. Senin pagi, 29 Oktober 2012, sampai rumah tepat sebelum Subuh tiba, alhamdulillah, selamat dan lancar.

6. Salatiga - Jakarta, Kembali ke Dunia Nyata
Selasa, 30 Oktober 2012, waktunya kembali ke kehidupan nyata di Jakarta. Dengan segala asap dan macetnya. Berniat untuk kuliah di sorenya, saya pun memilih naik Air Asia ketimbang bus atau kereta. Jadwal seharusnya jam 3 kurang, tapi akhirnya jadwal mundur jadi jam 16.10, masih mencukupi lah untuk ke kampus jam 7 malam, pikirku.
Setelah Dzuhur, berangkat dari rumah, sebuah desa yang jauh dari bisingnya kota itu, dengan diantar ayah sampai terminal. Lalu lanjut dengan bus Patas Solo-Semarang, kemudian taxi menuju bandara Ahmad Yani. Sampai jam 15.30, check in di counter, dan baru tau kalo ternyata check in di counter Air Asia kena charge 30ribu, haih, extra cost. Tiketnya sendiri sebenarnyacuman 140ribu, plus airport tax 30rb. Totalnya 200ribu lah jadinya akhirnya.
Terlihat di layar, jadwal pemberangkatan Air Asia 16.10, dan Garuda 16.20. Kami dipanggil dahulu, bebaris di gate 2, lalu sesaat kemudian penumpang Garuda, di gate 1. Sampai akhirnya mereka duluan yang masuk ke pesawat. Dan setelah habis mereka, kita pun ke pesawat, dengan posisi lebih jauh dari gerbang, berjalan lah lebih jauh kita.
"Pancen, ono rego, ono rupo"
Pramugari sedang mengatur penumpang, dan merapikan bawaan, yang herannya cukup banyak yan membawa kardus bear ke kabin, heran, masak ga ada 7 kilo beratnya :|. Saat ku lihat pesawat Garuda di samping telah meluncur, saya lirik jama tangan, 16.20 tepat. Lalu kami?
sepisan meneh, ono rego, ono rupo.
..........................
Tibalah di Jakarta, sore 30 Oktober 2012. 
terminal 3 Soekarno Hatta, instagram : @penguintropis


Dan, saat bus Damri yang ku tumpangi sampai di daerah Senayan, ada laporan dari teman yang sudah di kampus, "KULIAH LIBUR".

sebuah perjalanan panjang pun harus ditutup.



Comments

  1. thanks udah bersedia membaca Mas Tony :)

    ReplyDelete
  2. Jadi terngiang2 lagi keseruannya. Nice.
    Nb: acara bully di angkot ga tercetak tuh hahaha, peace

    ReplyDelete
  3. bully-an yang mana ya?
    mendadak amnesia :p

    ReplyDelete

Post a Comment