Angka 3, 1 dan 4 di hari Jumat

Bersama laju kereta yang hendak membawaku ke kampung halaman di malam ini, otakku melayang jauh dari tempatnya. Merangkai sejumput kenangan yang terjadi sepanjang hari.
Sms dari teman tadi siang, selepas sholat Jumat, yang rencananya pulang bersamaku, tapi secara tiba-tiba dalam smsnya dia minta maaf tak jadi naik kereta bersamaku. Dengan tambahan mempersilakan aku untuk marah. Wah, hal yang sulit buatku, tak cukup emosiku untuk marah atau mutung dalam urusan remeh begitu. Yang ku pikir hanya, apa yg terjadi pd temanku ini, semoga saja dia pulang lebih cepat dari jadwal, bukannya karena ada halangan di penerbangannya dr pulau seberang. Dan syukurnya, yg pertamalah faktanya. Tinggal masalahku adalah, aku "agak" takut pada perjalanan sendirian.
Ah, dan benar saja, aku harus sendiri. Teman PJKA (pulang jumat kembali ahad) Jogja yg biasanya mjd rekan ke stasiun sudah tak di mejanya saat ku samperin jam 5 lebih 7menitan. Setelah bejibaku mendapat lift yg penuh sesak, akhirnya di halaman kantor aku dipertemukan dg temanku. Sayang,
beliau sudah bersama rekan2nya hendak naik taxi, pas 4 orang.
Melanjutkan kesendirian di metromini sampai Sarinah, dan begitu turun, tampak dari belakang bus Bianglala 44 telah muncul. Dengan apalagi aku harus bersyukur pd Tuhan untuk semua kemudahannya, alhamdulillah. Sampai di stasiun Senen pukul 6 lebih bbrp menit, langsung tanya petugas jaga dimana untuk cancelling 1 tiket. Di CS KAI, mbak mbak petugasnya ternyata baik hati. Tanpa ku minta, ia langsung memberi solusi agar tiketnya dijual ke orang lain, karena jika dikembalikan hnya diganti 50%. Ia pun mbawa tiket itu dan menawarkan pd orang orang, yg pastinya saja jd rebutan. Si mbak pun kembali lagi ke kantornya dan tiketku terbayar lunas, 125ribu, oleh seorang wanita yang raut mukanya td meyakinkan sekali sangat butuh tiket itu. Jadilah ia rekan sekursiku malam nanti.
Saat menunggu kereta, keberuntungan datang lagi, bertemu bbrp orang yg ku kenal jd ada tmn ngobrol. Ermin, tmn seangkatan yg hendak ke rumah kakaknya, dan naik Senja Semarang jg. Kok kebetulan sekali ada Ermin disitu ada juga Niko, yg memang hendak pulang ke Bekasi. Selain itu, ada juga 2 adik kelas yg nimbrung bareng. Syukurlah....
Dan saat aku menulis ini, di hadapanku, sedang tidur seorang teman sengkatan jg, tp baru kenal di kereta ini. Sedang rekan sebangkunya yg kini memilih tidur di lantai kereta adalah si janggut lebat, Wahyono, mentor soal jodoh dan pernikahan yg mumpuni, sayang murid sepertiku masih sulit diajar.
Sementara di kursi seberang lagi, tidur dengan masker abu-abunya. Adik kelasku dr satu kota yg membanggakan, prestasinya sebagai lulusan peringkat satu DIII Adm. Perpajakan STAN tentu bukan sembarangan.
Pertemuan yg tak pernah kami rencanakan, tapi Dia pastinya. Soal yg sederhana, hanya bertemu dg teman, tapi karunia besar bagiku.
Yah, segala hubungan itu muncul dari almamaterku di kampus STAN. Itulah yg menjadi inspirasiku menulis ini, soal angka angka 1, 3 dan 4. Bukan soal angka sial 13 atau 4 yang berarti kematian. Bukan pula soal mutasi eselon 4 yg keluar jg malam ini, karena keterbatasan signal pula aku tak pernah sukses mendownload file-nya.
Kembali ke angka-angka tadi, 1, 3 dan 4 adalah angka di almamater kami di kampus STAN, D I, D III, dan D IV. Karena secara mengejutkan, hari ini tersiar berita bahwa Bos besar (Menkeu) sudah memutuskan tahun ini tak ada penerimaan D III STAN, hNya membuka penerimaan D I sebanyak 1000 orang.
Sungguh, 180° berbeda dari Bos lama, ibu Sri Mulyani yg sebaliknya tak menerima D I.
Apa sebab?
Yang ku dengar, pos pengeluaran untuk gaji pegawai terlalu besar. Komposisi pegawai yg terlalu bNyak pegawai bergolongan 3a/3b sehingga butuh gaji besar. Sungguh penghematan besar jika cukup dengan lulusan D I bergolongan IIa yang kompetensi kerjanya pun mencukupi. Sedang PHK adalah hal yang sungguh sulit dilakukan bagi PNS, hampir mustahil bahkan, jika tak ada yg luar biasa.
Sungguh keputusan yg hebat, jika dalam suatu game kmgknan besar akan jadi kemenangan.
Tapi soal kemanusiaan?
Lulusan D III juga bukan PNS gol. 3 tapi 2c, dan butuh waktu lama untuk mencapai golongan itu, dengan kuliah lagi pun harus menunggu 3 tahun bagi kami. Begitu selesai kuliah pun, tak otomatis dg ijazah, golongan bAru itu tercapai. Masih ada Ujiannya, berupa UPKP, bukankah itu harusnya menjadi penyaring bagi yg berkualitas saja, yg kuliahnya beneran tak asal-asalan. Ah, ini hanya sebuah pembelaan emisional. Emosi tak boleh dicampuradukkan dengan pekerjaan. Meski para pejabat negeri ini masi sering menunjukkannya, sudah, tinggalkan saja.
Lalu bagaimana dg D IV?
Yang seharusnya tahun ini adalah yang kami tunggu-tunggu. Akankah bernasib tragis seperti si 3 atau seperti 1. Berat jika memang alasannya soal penghematan gaji.
Baru kali ini aku merasa cukup peduli dengan orang lain. Tak sanggup aku membayangkan isi hati puluhan, bahkan mgkn ratusan temanku yg jauh dr keluarga. Mimpi mereka kembali ke Jawa, dengan masuk D4. Hampir tak ada jalan lain bung,..
Bukan soal dipindah ke Jawanya, karena tentu daerah luar Jawa butuh banyak abdi negara. Dan tak mungkin jg kami yang di Jawa harus bertukar tempat.
Ini soal mimpi dan harapan, toh jumlah yg diterima D4 itu terbatas. Jadikan itu sbg sarana berkompetesi dalam prestasi. Hanya berharap mimpi-mimpi itu terjaga. Mimpi anak untuk dekat dengan Ayah ibunya, istri untuk bersama suaminya, lelaki untuk meminang wanitanya dan mimpi-mimpi mulia lainnya.
Asa itu tak boleh hilang, doa dan usaha tak boleh putus kawan
Bahagia dan sukses bagi kita semua, amiin

Published with Blogger-droid v1.6.8

Comments

  1. sompretossss, khaaaaaa gud job benjet.
    menyentuh benjet tulisannya
    meretas ke hati, ane perwakilan dari luar jawa merasa harus terwakili soal, "lelaki untuk meminang wanitanya dan mimpi-mimpi mulia lainnya."

    ReplyDelete
  2. semoga D IV tetap buka, terima seribu mahasiswa.
    semoga cepat dapet wanitanya juga kak ;)

    ReplyDelete

Post a Comment